Friday, May 30, 2008


Animal Kingdom

  • Tanggal: 19 Feb 2008 - 10 Mar 2008
  • Kurator: Mikke Susanto

Pameran Seni Visual
ANIMAL KINGDOM: The Last Chronic
JOGJA GALLERY, 16 Februari - 9 Maret 2008

Kira-kira antara tahun 3500 – 232 SM., tepatnya di zaman Kerajaan Mesir Kuno, keberadaan binatang dalam aktivitas kebudayaan mereka sangat penting. Binatang tidak saja dianggap teman hidup manusia, tetapi lebih dari sekadar itu. Binatang dijadikan rekan kerja, sekaligus--ini yang lebih penting--adalah untuk direpresentasikan sebagai wujud keagungan raja dan dewa-dewa yang mereka sembah. Mereka percaya pada polyteisme (banyak dewa). Di lain pihak raja dianggap sebagai keturunan dewa. Dengan demikian raja sebagai keturunan dewa mempunyai kekuasaan absolut dan memerlukan atribut-atribut untuk melegitimasi kekuasaan: pusaka, kesaktian, bangunan-bangunan monumental, kuburan-kuburan megah dan sebagainya.
Lewat artefak yang terkait dengan legitimasi kekuasaan tersebut, terungkaplah berbagai penghormatan mereka pada binatang. Dewa-dewa yang dihormatinya diwujudkan dengan bangun arsitektur yang megah, salah satu yang paling mencolok misalnya Spinx: Singa berkepala manusia. Jika ingin disebut lebih banyak lagi misalnya Dewa Matahari (Ra atau Re) yang divisualkan sebagai kumbang atau burung elang, dewa Anubis dengan muka serigala, Dewa Sobek yang berkepala buaya, Dewa Horus yang berkepala Rajawali dan sebagainya.
***
Secara singkat dalam tradisi seni rupa Cina, binantang seperti kuda, angsa, ikan, udang sering menjadi objek lukisan. Mereka dihadirkan sebagai bagian dari gambaran penghormatan atau puisi alam. Sesekali juga hadir sebagai bagian dalam urusan keberuntungan hidup. Sedang dalam sejarah seni di Eropa, keberadaan dan ’hidup’ binatang jauh lebih variatif. Peran mereka mulai sebagai aktor pendukung atau tampil sebagai objek utama. Mereka sering ditampilkan berotot, gagah, tampil maskulin dan sebagainya. Mereka sering berperan sebagai binatang itu sendiri maupun sebagai metafora dewa atau ”seseorang” yang lain. Lihat lukisan-lukisan yang menggambarkan mitologi Yunani, atau karya Leonardo da Vinci yang menggambarkan angsa sebagai perwujudan Dewa Zeus dalam karya Leda and The Swan.
Setelahnya, deretan cerita binatang dalam sejarah seni Eropa semakin panjang. Aliran Art Nouveau juga melahirkan tradisi animal style (sebutan ini juga sering dipakai dalam seni Jerman yang terjadi di akhir Abad Kegelapan atau Dark Ages). Di era Art Nouveau sekitar 1890-an mereka membuat stilisasi dan pola hias binatang dan tumbuhan (hal semacam ini juga terjadi di belahan lain seperti yang terjadi di Jawa).
Di dalam seni rupa modern Indonesia, Raden Saleh sering memunculkan peran binatang dengan sangat kuat. Tidak saja sebagai pendukung, namun juga menjadi identitas dalam menggambarkan nasionalismenya. Baru di tangan Affandi, Widayat, Popo Iskandar, dan beberapa lainnya, tercipta gagasan yang sifatnya lebih individual. Dalam tradisi seni rupa Bali, tercipta pola visual yang bersumber dari cerita tantri. Di sini muncul sederet nama seniman tradisi Bali yang sangat kuat menggambarkan binatang sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Maka ketika zaman seni rupa kontemporer (seni saat ini) berkembang, terungkaplah gejala baru. Binatang dialihfungsikan sebagai manusia, yang jauh melebihi dari sekadar cerita sebagai metafora dewa, tetapi juga menjadi manusia, dari yang baik hingga yang jalang. Di era 80-an hingga saat ini, di Indonesia misalnya berkembang visualisasi binatang tikus (sebagai simbolisasi koruptor), bebek (rakyat yang manut), lalat (pemuncul aroma busuk), babi dan celeng (penilap harta rakyat), yang sangat mendominasi karya seni pra & pasca reformasi.
Di samping kecenderungan di atas, terjadi pula eksplorasi binatang sebagai bagian dari proses identifikasi individu. Dalam perkembangan ini, ekplorasi gaya realis, abstraksi, dan formal tetap muncul. Keberadaan binatang di tangan para perupa di sini berkisar antara fungsi formal yang menunjuk sebagai bagian dari ekplorasi teknik dan berada pada tataran hobi pada binatang. Nama-nama seperti Dewa Putu Mokoh dengan ular dan kataknya, Ugo Untoro yang kerap merespon kuda peliharaannya, Wayan Sadu yang senang dengan babi dan anjingnya, Wayan Sujana Suklu dengan capung, Setyo Priyo Nugroho dengan harimaunya dan sebagainya sering mewarnai seni rupa Indonesia.
***
Cerita-cerita di atas hanyalah sebagian dari perkembangan sejarah binatang dalam peradaban manusia. Intinya, perkembangan pemikiran seni yang bertitik tolak dengan tema binatang berkisar pada persoalan ”penghormatan”, ”cacian”, dan ”penggalian atau eksplorasi individu”. Realitas lain yang tak bisa dihindari adalah bahwa binatang kini secara alami tergusur oleh kebijakan dan ulah manusia sehingga ia mengalami keterdesakan ruang, tetapi dalam lukisan atau karya seni, nyatanya binatang justru sebagai bagian yang mempengaruhi hidup manusia dan memperluas ruang wacana seni kita.
Maka jika saya sering berpikir bahwa terdapat cerita dan sejarah binatang yang lebih luas perspektifnya, berikut hanyalah ujung kecil dari berbagai selubung cerita besar yang ada di setiap sejarah seni rupa dimanapun. Dari sini kemudian kami mencoba mengungkap ilustrasi berupa pameran yang mungkin akan membuka wacana lebih lanjut. Adakah temuan dan hasil karya seniman kontemporer Indonesia saat ini yang lebih kuat mengemuka setelah pameran ini digelar? Jika tidak, kisah dan kronik terakhir berupa binatang sebagai media ”cacian” dan ”eksplorasi individu” inilah yang akan dipakai secara khusus sebagai bentuk tuturan dalam kurasi pameran ini. +++

Mikke Susanto
Kurator

Seniman yang turut dalam pameran Animal Kingdom:


1. AB. Dwiantoro
2. Agapetus Kristiandana
3. Agus Suwage
4. Alexander Ming
5. Asri Nugroho
6. Bunga Jeruk P.
7. Chusin Setiadikara
8. Doel AB.
9. Dadi Setiyadi
10. Didik Nurhadi
11. Djoko Pekik
12. Erika Hesti Wahyuni
13. F. Widayanto
14. Farhan Siki
15. Husain
16. I Dewa Putu Mokoh
17. I Ketut Susena
18. I Wayan Asta
19. I Wayan Cahya
20. I Wayan Sadu
21. I Wayan Sugantika
22. I Wayan Sujana Suklu
23. I Wayan Sumantra
24. I Ketut Santosa
25. Ivan Sagito
26. Iwan Effendi
27. Probo
28. Ronald Manulang
29. S. Teddy D.
30. Sasya Tranggono
31. Setyo Priyo Nugroho
32. Sidik Martowidjojo
33. Suraji
34. Suitbertus Sarwoko
35. Syahrizal Koto
36. Timbul Raharjo
37. Ugo Untoro
38. Wahyu Santosa
39. Yoga Budhi Wantoro

No comments: