Friday, May 30, 2008

TIPS MEMILIH KAMERA DIGITAL

Berikut beberapa tips sebelum berburu kamera digital:

1. Resolusi
Gambar digital dibuat oleh titik-titik yang disebut piksel. Resolusi ini merujuk pada banyaknya piksel yang bekerja sama membuat suatu foto. Biasanya ditunjukkan oleh horisontal x vertikal. Resolusi 1280 x 960 memiliki total 1,2 Megapiksel. Semakin besar resolusi akan memproduksi foto yang juga lebih baik.

Sesuaikan resolusi yang ditawarkan dengan pilihan Anda. Biasanya dalam satu kamera tersedia pilihan resolusi yang berbeda. Jika hanya ingin mengirim foto melalui e-mail, resolusi 640 x 480 sudah memadai. Tapi jika ingin mencetak sebaiknya pilih resolusi yang lebih besar, agar gambar tidak pecah dan buram.

2. Pastikan Fitur Pendukung Lainnya
Sebelum membeli, pastikan kamera digital pilihan Anda memiliki beberapa fitur pendukung seperti kemampuan memori tambahan. Ini untuk memperbesar gudang penyimpanan foto Anda.

Jika sesekali menginginkan gambar bergerak, pilih kamera yang mendukung video. Beberapa kamera digital datang dengan kemampuan audio saja. Sesuaikan dengan kebutuhan anda. Video atau audio?

Selain itu perhatikan kemampuan zoom yang ditawarkan. Optical zoom menjadi pusat perhatian ketimbang digital zoom, si perangkat lunak yang menyediakan fasilitas cropping dan memperbesar gambar.

3. Lampu Kilat (Flash)
Rata-rata produk kamera digital dilengkapi dengan lampu kilat yang terintegrasi. Ada yang otomatis, atau perlu menekan tombol on untuk menjalankannya. Flash berguna sebagai pendukung cahaya. Gambar yang diambil dalam kondisi agak gelap dapat tetap tampil maksimal dengan bantuan lampu menyilaukan ini. Perhatikan juga apakah si ramping memiliki fitur tambahan seperti pengurang efek mata merah. Beberapa produk juga datang dengan pilihan foto untuk pengambilan gambar di malam hari atau night scene.

4. Layar LCD
Layar LCD di bagian belakang kamera digital memudahkan Anda melihat obyek. Disini anda juga bisa melihat dan menghapus gambar yang tidak diinginkan. Pilih layar LCD dengan kandungan resolusi yang cukup besar sehingga warna yang tampil lebih natural. Ukuran layar juga berbeda-beda. Pastikan layar tidak terlalu kecil, sehingga gambar bisa tampil maksimal.

5. Self-Timer
Self timer biasanya bisa mencapai 10 detik. Selain memudahkan memotret gambar diri, fitur ini juga berguna untuk mengambil gambar dalam keadaan cahaya yang kurang karena bisa mengurangi guncangan akibat tekanan pada tombol pengambilan gambar.

6. Daya Tahan Baterai
Kalau tak ingin kesenangan terputus gara-gara baterei loyo, Anda perlu memperhatikan berapa lama sumber listrik ini bisa bertahan. Memilih baterai yang bisa diisi ulang (rechargeable) adalah tindakan bijaksana dan lebih hemat.

7. Koneksi
Perhatikan apakah kamera digital Anda bisa berhubungan intim dengan perangkat digital lainnya seperti televisi, printer, PC atau Mac. Anda akan tertolong dengan adanya USB kabel.
Anda juga bisa mencetak gambar dengan bantuan kabel USB. Beberapa kamera digital sudah mendukung PictBridge yang membuat Anda leluasa mencetak gambar langsung dari kamera digital meski mereknya berbeda.
Adapun keenam vendor yang mempelopori standar terbuka itu adalah Canon, Hewleet-Packard, Seiko Epson Corporation, Olympus Optical Company, Fuji Photo Film Corporation, dan Sony Corporation.

8. Kalkulasi Harga
Jangan lupa untuk mengkalkulasi harga perangkat pendukung lainnya seperti baterei isi ulang dan adapter AC.

9. Waktu Operasi
Pilih kamera digital yang tidak butuh waktu terlalu banyak setelah jeda pengambilan gambar. Selisih waktu 4 hingga 6 detik saja mungkin membuat Anda kurang puas dengan kinerja si ramping.

10. Bandingkan Harga dan Garansi
Jangan hanya terpikat pada satu toko saja. Kalau ada waktu luang tidak ada salahnya Anda melakukan riset kecil-kecilan sebelum membeli.
Margin keuntungan yang berbeda menjadi sumber mengapa harga yang Anda temui di toko yang satu tidak sama dengan yang lain. Perhatikan juga garansi.

Akhirnya jangan hanya terpikat pada bentuk tubuh yang menggoda, tapi perhatikan isi atau fitur yang ada di dalam suatu produk.
Selamat menikmati langsing bodinya tapi padat fiturnya.

Khansa AL Asma

Pendidikan Desain Komunikasi Visual (DKV)
Category:Other
Pendidikan Desain Komunikasi Visual (DKV) berbasis
Konsep desain komunikasi visual itu penting !

1. Berperan serta mempersiapkan sumber daya manusia khususnya para programmers, networkers dan 'visual
communication designers di abad teknologi informasi dan citra, secara efisien dan dapat meningkatkan
produktivitas usaha/ lembaga/ pemerintah dan industri

2. Menerapkan teknologi informasi dan sistem informasi manajemen sebagai hal penting disegala bidang agar meningkatkan kualitas masyarakat informasi dalam era pasar terbuka (globalisasi).

3. Mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan sis. informasi manajemen,
serta dapat memenuhi tantangan program-program pemerintah Indonesia dan industri pada saat ini maupun di masa depan.

Pendidikan desain komunikasi visual itu perlu !

1. Mengenal Konsep Desain Komunikasi Visual sebagai Dasar Perancangan/ Desain dan Strategi Komunikasi

2. Mengenal Desain Grafis (DKV) dan Bahasa Rupa sebagai Pengolah Visual Data Informasi

3. Mengenal secara teknis prinsip, proses teknologi informatika dan sistem informasi manajemen.

4. Memahami Elemen desain Grafis sebagai alat penyampai pesan yang efektif, efisien, komunikatif dan estetis kreatif dalam konteks konsep-policy/
planning/ strategy dan implementasi serta evaluasi.

5. Memahami strategi komunikasi, psikologi dan sosial/ anthropologi budaya

6. Memahami beberapa media baru, terutama dunia media/ ruang cyber serta tekniknya yaitu :
a. Animasi - Audio Visual (Mix Media)
b. Interaktif media dan Web/
homepage yang biasa
dipergunakan untuk melengkapi
E-Media dan Mixmedia/Multimedia.

7. Menguasai konsep perancangan/ desain komunikasi visual dan pemasaran global secara universal

8. Menguasai proses dan teknik perancangan/ desain yang dapat mengantisipasi perkembangan dunia
kewirausahaan/ entrepreneurship.
(indarsjah tirtawidjaja)
Prev: Definisi, prinsip dan istilah Desain Komunikasi Visual
Next: Stop Beri Uang (Anjal)

Animal Kingdom

  • Tanggal: 19 Feb 2008 - 10 Mar 2008
  • Kurator: Mikke Susanto

Pameran Seni Visual
ANIMAL KINGDOM: The Last Chronic
JOGJA GALLERY, 16 Februari - 9 Maret 2008

Kira-kira antara tahun 3500 – 232 SM., tepatnya di zaman Kerajaan Mesir Kuno, keberadaan binatang dalam aktivitas kebudayaan mereka sangat penting. Binatang tidak saja dianggap teman hidup manusia, tetapi lebih dari sekadar itu. Binatang dijadikan rekan kerja, sekaligus--ini yang lebih penting--adalah untuk direpresentasikan sebagai wujud keagungan raja dan dewa-dewa yang mereka sembah. Mereka percaya pada polyteisme (banyak dewa). Di lain pihak raja dianggap sebagai keturunan dewa. Dengan demikian raja sebagai keturunan dewa mempunyai kekuasaan absolut dan memerlukan atribut-atribut untuk melegitimasi kekuasaan: pusaka, kesaktian, bangunan-bangunan monumental, kuburan-kuburan megah dan sebagainya.
Lewat artefak yang terkait dengan legitimasi kekuasaan tersebut, terungkaplah berbagai penghormatan mereka pada binatang. Dewa-dewa yang dihormatinya diwujudkan dengan bangun arsitektur yang megah, salah satu yang paling mencolok misalnya Spinx: Singa berkepala manusia. Jika ingin disebut lebih banyak lagi misalnya Dewa Matahari (Ra atau Re) yang divisualkan sebagai kumbang atau burung elang, dewa Anubis dengan muka serigala, Dewa Sobek yang berkepala buaya, Dewa Horus yang berkepala Rajawali dan sebagainya.
***
Secara singkat dalam tradisi seni rupa Cina, binantang seperti kuda, angsa, ikan, udang sering menjadi objek lukisan. Mereka dihadirkan sebagai bagian dari gambaran penghormatan atau puisi alam. Sesekali juga hadir sebagai bagian dalam urusan keberuntungan hidup. Sedang dalam sejarah seni di Eropa, keberadaan dan ’hidup’ binatang jauh lebih variatif. Peran mereka mulai sebagai aktor pendukung atau tampil sebagai objek utama. Mereka sering ditampilkan berotot, gagah, tampil maskulin dan sebagainya. Mereka sering berperan sebagai binatang itu sendiri maupun sebagai metafora dewa atau ”seseorang” yang lain. Lihat lukisan-lukisan yang menggambarkan mitologi Yunani, atau karya Leonardo da Vinci yang menggambarkan angsa sebagai perwujudan Dewa Zeus dalam karya Leda and The Swan.
Setelahnya, deretan cerita binatang dalam sejarah seni Eropa semakin panjang. Aliran Art Nouveau juga melahirkan tradisi animal style (sebutan ini juga sering dipakai dalam seni Jerman yang terjadi di akhir Abad Kegelapan atau Dark Ages). Di era Art Nouveau sekitar 1890-an mereka membuat stilisasi dan pola hias binatang dan tumbuhan (hal semacam ini juga terjadi di belahan lain seperti yang terjadi di Jawa).
Di dalam seni rupa modern Indonesia, Raden Saleh sering memunculkan peran binatang dengan sangat kuat. Tidak saja sebagai pendukung, namun juga menjadi identitas dalam menggambarkan nasionalismenya. Baru di tangan Affandi, Widayat, Popo Iskandar, dan beberapa lainnya, tercipta gagasan yang sifatnya lebih individual. Dalam tradisi seni rupa Bali, tercipta pola visual yang bersumber dari cerita tantri. Di sini muncul sederet nama seniman tradisi Bali yang sangat kuat menggambarkan binatang sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Maka ketika zaman seni rupa kontemporer (seni saat ini) berkembang, terungkaplah gejala baru. Binatang dialihfungsikan sebagai manusia, yang jauh melebihi dari sekadar cerita sebagai metafora dewa, tetapi juga menjadi manusia, dari yang baik hingga yang jalang. Di era 80-an hingga saat ini, di Indonesia misalnya berkembang visualisasi binatang tikus (sebagai simbolisasi koruptor), bebek (rakyat yang manut), lalat (pemuncul aroma busuk), babi dan celeng (penilap harta rakyat), yang sangat mendominasi karya seni pra & pasca reformasi.
Di samping kecenderungan di atas, terjadi pula eksplorasi binatang sebagai bagian dari proses identifikasi individu. Dalam perkembangan ini, ekplorasi gaya realis, abstraksi, dan formal tetap muncul. Keberadaan binatang di tangan para perupa di sini berkisar antara fungsi formal yang menunjuk sebagai bagian dari ekplorasi teknik dan berada pada tataran hobi pada binatang. Nama-nama seperti Dewa Putu Mokoh dengan ular dan kataknya, Ugo Untoro yang kerap merespon kuda peliharaannya, Wayan Sadu yang senang dengan babi dan anjingnya, Wayan Sujana Suklu dengan capung, Setyo Priyo Nugroho dengan harimaunya dan sebagainya sering mewarnai seni rupa Indonesia.
***
Cerita-cerita di atas hanyalah sebagian dari perkembangan sejarah binatang dalam peradaban manusia. Intinya, perkembangan pemikiran seni yang bertitik tolak dengan tema binatang berkisar pada persoalan ”penghormatan”, ”cacian”, dan ”penggalian atau eksplorasi individu”. Realitas lain yang tak bisa dihindari adalah bahwa binatang kini secara alami tergusur oleh kebijakan dan ulah manusia sehingga ia mengalami keterdesakan ruang, tetapi dalam lukisan atau karya seni, nyatanya binatang justru sebagai bagian yang mempengaruhi hidup manusia dan memperluas ruang wacana seni kita.
Maka jika saya sering berpikir bahwa terdapat cerita dan sejarah binatang yang lebih luas perspektifnya, berikut hanyalah ujung kecil dari berbagai selubung cerita besar yang ada di setiap sejarah seni rupa dimanapun. Dari sini kemudian kami mencoba mengungkap ilustrasi berupa pameran yang mungkin akan membuka wacana lebih lanjut. Adakah temuan dan hasil karya seniman kontemporer Indonesia saat ini yang lebih kuat mengemuka setelah pameran ini digelar? Jika tidak, kisah dan kronik terakhir berupa binatang sebagai media ”cacian” dan ”eksplorasi individu” inilah yang akan dipakai secara khusus sebagai bentuk tuturan dalam kurasi pameran ini. +++

Mikke Susanto
Kurator

Seniman yang turut dalam pameran Animal Kingdom:


1. AB. Dwiantoro
2. Agapetus Kristiandana
3. Agus Suwage
4. Alexander Ming
5. Asri Nugroho
6. Bunga Jeruk P.
7. Chusin Setiadikara
8. Doel AB.
9. Dadi Setiyadi
10. Didik Nurhadi
11. Djoko Pekik
12. Erika Hesti Wahyuni
13. F. Widayanto
14. Farhan Siki
15. Husain
16. I Dewa Putu Mokoh
17. I Ketut Susena
18. I Wayan Asta
19. I Wayan Cahya
20. I Wayan Sadu
21. I Wayan Sugantika
22. I Wayan Sujana Suklu
23. I Wayan Sumantra
24. I Ketut Santosa
25. Ivan Sagito
26. Iwan Effendi
27. Probo
28. Ronald Manulang
29. S. Teddy D.
30. Sasya Tranggono
31. Setyo Priyo Nugroho
32. Sidik Martowidjojo
33. Suraji
34. Suitbertus Sarwoko
35. Syahrizal Koto
36. Timbul Raharjo
37. Ugo Untoro
38. Wahyu Santosa
39. Yoga Budhi Wantoro

Agenda Jogja Gallery


GOLDEN BOX

  • Tanggal: -
  • Kurator: Mikke Susanto

GoldenBox

Tidak diragukan bagaimana lingkungan, pendidikan, hubungan sosial dan daya kreatifitas di kota Yogyakarta ini melahirkan banyak karya-karya berkualitas yang lahir dari tangan-tangan emas para perupa kita. Tingginya kompetisi, kebutuhan untuk mempresentasikan gagasan dan untuk tetap eksis di tengah hiruk pikuknya perkembangan dunia seni rupa kita, mendorong Jogja Gallery untuk menggiatkan sebuah program konsinyasi/titip jual karya seni visual. Program yang bertajuk GoldenBox. Meski, sejak Jogja Gallery berdiri, program konsinyasi ini sudah kami tawarkan, namun Jogja Gallery ingin mengedepankan potensi program ini lebih serius. Sehingga gagasan program GoldenBox ini merupakan sebuah diversifikasi promosi karya-karya berkualitas dari banyak perupa potensial di Indonesia.

Karya-karya yang tersaji dalam program GoldenBox ini tetap melalui tahap seleksi dari kurator dan manajemen Jogja Gallery, dan akan berotasi setiap 4 bulan sekali. Sekitar 80 hingga 100 karya dalam GoldenBox ini merupakan karya yang pernah dipamerkan mau pun yang belum, bahkan besar kemungkinan akan dipamerkan di Jogja Gallery. Maka, para peminat karya seni visual akan dimanjakan dengan banyak pilihan dari berbagai aliran seni, berbagai teknik dan media, dari para perupa dengan kategori, promising, emerging hingga establish artists.

Dari GoldenBox periode pertama ini, sekaligus kami ingin mengundang para perupa untuk terus berkarya dengan mengedepankan kualitas dan ide-ide kreatifnya yang brilian. Untuk saling mengoptimalkan kerja sama antara galeri dengan perupa melalui program ini. Demikian pula, kami mengundang para peminat karya seni visual untuk terus mendukung infrastruktur dan perkembangan seni visual Indonesia lewat apresiasinya.


Salam,
Nunuk Ambarwati
Program Manager

Pameran seni drawing 'Sketch of Jogja'

Dipublikasikan tanggal November 20, 2007 2:13 PM

sketch-of-jogja.jpg

Karya Mulyo Gunarso
16 November - 16 Desember 2007
Museum Lounge, Yogyakarta Grand Mercure Hotel
Jalan Jendral Sudirman No 9, Yogyakarta 55233
Penyelenggara: Jogja Gallery, Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara
Yogyakarta

Bertempat di Museum Lounge, Yogyakarta Grand Mercure Hotel; Jogja Gallery [JG] mempresentasikan karya-karya sketsa goresan perupa muda Mulyo Gunarso [lahir di Kediri, 1979]. Mulyo menempuh studinya di Fakultas Seni Rupa [FSR], Institut Seni Indonesia [ISI], Yogyakarta dalam kurun waktu 2001 - 2006. Mulyo Gunarso dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Kesederhanaan personality-nya tersebut toh pada akhirnya tergambar pula di 20 karya sketsa yang bisa dinikmati bersama arsitektur khas Yogyakarta Grand Mercure Hotel kali ini. Pada kesempatan presentasi kali ini, Mulyo banyak menampilkan dominasi warna sephia monokrom. Dengan teknik cat air di atas kertas, Mulyo mampu menggambarkan suasana familiar sudut-sudut kota di Yogyakarta, seperti Alun-alun Selatan, Tamansari, suasana pasar, sudut-sudut arsitektur Yogyakarta Grand Mercure sendiri hingga Candi Prambanan dan Borobudur tak ketinggalan turut ditorehkannya. Tak mengherankan memang, dalam deretan prestasinya, Mulyo Gunarso mendapat penghargaan di tahun 2002 sebagai sketsa terbaik dan seni lukis cat air terbaik dari perguruan tinggi yang diampunya. Selamat menikmati presentasi kali ini.

Tentang Jogja Gallery

Jogja Gallery [JG], sebagai 'Gerbang Budaya Bangsa' berdiri di Yogyakarta, 19 September 2006. Diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY], Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bertempat di 0 (nol) kilometer atau Alun-alun Utara, berada di kawasan heritage, pusat kota Yogyakarta, menempati bekas gedung bioskop Soboharsono (berdiri 1929) yang telah berfungsi sejak jaman penjajahan Belanda. Jogja Gallery sebagai galeri seni visual yang didirikan oleh PT Jogja Tamtama Budaya, bekerja sama dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (selaku pemilik tanah dan bangunan) membawa peran penting yaitu sebagai media pertemuan antara pekerja seni dengan masyarakat luas. Program pelayanan publik yang telah dirancang antara lain pameran berkala, kerja sama non pameran, friends of Jogja Gallery, perpustakaan, art award forum, lelang karya seni, art shop, kafe dan restoran.

Informasi selanjutnya:
Jogja Gallery [JG]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara, Yogyakarta 55000 Indonesia
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email: jogjagallery@yahoo.co.id / info@jogja-gallery.com
www.jogja-gallery.com

69 - Seksi Nian


69 - Seksi Nian

  • Tanggal: 08 Apr 2008 - 12 Apr 2008
  • Kurator: Mikke Susanto

Pameran yang ke-25 sejak Jogja Gallery berdiri 19 September 2006 di Yogyakarta, pameran seni visual 69 Seksi Nian, tanggal 8 - 12 April 2008. Even istimewa kali ini sekaligus merupakan peringatan dan perayaan ulang tahun ke 69 dr. Oei Hong Djien. Sebuah angka unik, seunik sosok dr. Oei. Sosok yang tak diragukan lagi kiprahnya dalam dunia seni rupa kita. Demikian juga bagi Jogja Gallery, beliau merupakan figur yang hingga kini menemani perjalanan kami dengan segudang nasehat dan masukan demi berkembangnya Jogja Gallery.

Even ini menandai penyelenggaraan pameran yang ke-25 sejak Jogja Gallery berdiri 19 September 2006 di Yogyakarta. Pameran yang diselenggarakan secara reguler oleh Jogja Gallery kali ini bersifat pameran kelompok dan akan mengetengahkan karya-karya perupa Indonesia, kami mengundang 69 perupa dimana pihak kurator mau pun galeri tidak memberikan batasan mengenai ide karya, tema apapun dan akan lebih menarik jika karya tersebut dapat memberi rangsangan untuk tetap terus menggulirkan ide-ide yang segar dalam kajian seni rupa atau dan memiliki kaitan dengan konteks profil dr. Oei Hong Djien. Undangan ini juga bersifat semata-mata berpartisipasi merayakan ulang tahun ke-69 dr. Oei Hong Djien, dimana angka 69 memiliki arti tersendiri dalam perjalanan hidup dan karier dr. Oei di tengah perkembangan seni visual Indonesia hingga saat ini. Ke-69 karya dari 69 perupa yang diundang ini akan didisplay bersamaan dalam satu panel.

Seniman yang berpartisipasi:

Agapetus A. Kristiandana, Agung Kurniawan, Agus Triyanto BR., Agus Yulianto, Altje Ully, Aming Prayitno, Arie Dyanto, Alexander Ming, Azhar Horo, AT. Sitompul, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Bambang Herras, Bayu Yuliansyah, Bob ‘Sick’ Yudhita Agung, Bunga Jeruk, Cahyo Basuki Yopi, David Armi Putra, Deddy PAW, Denny ‘Snod’ Susanto, Didik Nurhadi, Dipo Andi, Dyan Anggraini Hutomo, Eddie Hara, Eddy Sulistyo, Edi Sunaryo, Edo Pop, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Fauzie As’ad, Gede Krishna Widiathama, Gusmen Heriadi, Hadi Soesanto, Hayatuddin, Herly Gaya, I Gusti Ngurah Udiantara, I

Pergelaran Foto, Film Dokumenatasi & Benda Kenangan Fatmawati Soekarno


Pergeraran Foto, Film Dokumentasi & Benda Kenangan Fatmawati Soekarno

  • Tanggal: 14 Apr 2008 - 21 Apr 2008
  • Kurator: Bambang Eryudhawan & Mikke Susanto

Pesona Fatmawati Sukarno


Kota Perjuangan
Yogyakarta adalah kota perjuangan. Ketika pada awal tahun 1946 keamanan di Jakarta semakin tidak menentu, bahkan mengancam keselamatan para pemimpin Republik Indonesia, maka ibukota pindah ke bumi Mataram. Selama periode 1946-1949 Yogyakarta menjadi saksi hidup gelombang pasang-surut perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengakomodasi Pemerintahan Pusat RI agar dapat bertahan hidup selama revolusi kemerdekaan merupakan catatan sejarah tersendiri. Yogyakarta telah menjadi pusat pikiran, perasaan, dan tindak perjuangan bangsa Indonesia.
Dalam periode inilah Fatmawati yang baru berusia 23 tahun menghadapi tantangan terbesar dalam hidupnya, baik sebagai Ibu Negara, sebagai ibu rumah tangga kepresidenan, sebagai ibu bagi anak-anaknya, maupun sebagai tokoh perempuan bagi negeri yang baru saja merdeka. Ia tidak pernah merasa memiliki persiapan yang memadai untuk tampil sebagai pelaku sejarah. Namun masa-masa itu dijalaninya dengan tabah dan tawakal. Peran historisnya sebagai pembuat Bendera Pusaka Merah Putih tidak membuatnya terlena, namun justru menguatkan tekadnya untuk terus berjuang membangun bangsanya.
Karena itu Yogyakarta di tahun 2008 menjadi tempat istimewa dalam rangkaian kegiatan Mengenang 85 Tahun Fatmawati Sukarno. Kegiatan pertama telah dilangsungkan di Jakarta pada bulan Februari dan Maret yang lalu. Kemudian kegiatan dilaksanakan di Bengkulu, tempat ia dilahirkan pada tanggal 5 Februari 1923. Pada bulan Maret yang lalu di Yogyakarta telah dilaksanakan pula kegiatan sosial.
Yogyakarta menjadi lebih istimewa karena untuk kali pertama Presiden RI beserta keluarga menempati sebuah istana, yaitu di Gedung Agung. Di sinilah seorang Fatmawati harus melalui batu ujian, memainkan lakon sejarahnya, menapaki jalan yang belum pernah dilalui oleh siapapun juga, yaitu sebagai Ibu Negara Pertama Republik Indonesia. Tanpa buku pedoman, tanpa kursus, atau pelatihan, Fatmawati dengan berani, tegar, sekaligus anggun dan bersahaja mampu memainkan perannya dengan sebaik-baiknya. Kesederhanaan menjadi modal utamanya. Di tengah-tengah tugas kenegaraannya, ia tidak melupakan keluarganya, setia mendampingi suami dan mencurahkan kecintaan yang luar biasa pada putera-puterinya. Ia dikenal sangat terbuka, ramah, luwes, periang, dan pandai bergaul dengan siapa saja, tidak pandang warna aliran politiknya atau kelas dalam masyarakat. Ia sahabat semua orang. Latar belakangnya sebagai puteri dari keluarga Muhammadyah yang berpikiran maju dan berjiwa nasionalis telah membentuk karakter Fatmawati yang sholeh, teguh dalam pendirian, gemar membantu orang yang kesusahan, dan terus bersemangat untuk mempelajari banyak hal, termasuk agama, seni dan budaya.
Pergelaran
Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno akan mengetengahkan sosok Fatmawati dari berbagai masa, peristiwa dan tempat yang sangat beragam. Pergelaran Foto berupaya mengungkapkan potret Fatmawati dalam kesehariannya, rileks dan santai, namun juga berwibawa dalam kerutinannya sebagai Ibu Negara yang memiliki tanggung jawab kenegaraan. Rangkaian foto yang dimulai dari masa Bengkulu hingga periode Sriwijaya akan menjadi bagian utama dari pergelaran. Pesona Fatmawati akan diungkapkan melalui foto-foto terpilih yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi oleh Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumber foto digali dari koleksi yayasan, koleksi keluarga, dari berbagai media cetak tempo dulu, dan sumber-sumber lainnya. Foto-foto akan disusun secara kronologis dengan porsi terbesar difokuskan pada Periode Yogyakarta.
Pada bagian awal, Periode Bengkulu menampilkan masa muda Fatmawati yang pernah diramal saat usia 4 tahun akan “...mendapat jodoh orang yang mempunyai kedudukan tertinggi di negeri ini.” Lalu masuk ke Periode Pendudukan Jepang. Setelah menikah dengan Bung Karno, Fatmawati harus meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah ke Jakarta. Fatmawati menjadi saksi hidup pergumulan Bung Karno yang mengambil strategi bekerja sama dengan Jepang namun terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam periode ini Pancasila dipidatokan oleh penggalinya, Bung Karno, pada tanggal 1 Juni 1945. Di tahun 1944 Fatmawati mulai menjahit Bendera Pusaka Merah Putih. Akhir dari periode ini adalah peristiwa akbar bagi bangsa Indonesia, yaitu Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Fatmawati tampil di 4 (empat) foto yang berhasil direkam oleh Frans Mendur selama detik-detik proklamasi berlangsung.
Periode Yogyakarta sangat kaya dengan peristiwa. Di tengah-tengah gejolak revolusi kemerdekaan, dengan ketekunan dan kesabarannya Fatmawati berhasil membangun tradisi rumah tangga istana kepresidenan mulai dari nol. Di sisi lain, kekuatan dan ketangguhan Bung Karno menghadapi berbagai masalah kenegaraan (misalnya Peristiwa 3 Juli, Clash I dan II, Pemberontakan PKI Madiun) tidak lepas dari peran Fatmawati sebagai pendamping yang mampu menghadirkan suasana hangat, ceria dan bahagia di tengah keluarga.
Periode Istana Merdeka adalah masa ketika pusat pemerintahan telah kembali ke Jakarta. Di tahun 1950 untuk kali pertama Fatmawati mendapat kesempatan mendampingi Bung Karno dalam perjalanan kenegaraan keluar negeri. Kunjungan ke India, Pakistan dan Burma merupakan pengalaman pertama yang sangat mengesankan bagi Ibu Negara.
Pada Periode Sriwijaya, roda kehidupan terus berjalan dalam format yang agak berbeda. Jauh dari ikatan protokoler istana, dari rumahnya di jalan Sriwijaya ia mengisi waktunya dengan kegiatan sosial tanpa melupakan perannya sebagai ibu dari lima putera-puterinya yang telah beranjak dewasa. Pada tanggal 14 Mei 1980 Fatmawati meninggal dunia di Kuala Lumpur, jauh dari tanah air tercinta, usai menunaikan ibadah Umrah.
Film Dokumenter akan menampilkan 2 buah film utama. Film pertama, “Bu Fat Dalam Kenangan” yang telah ditayangkan untuk kali pertama di Malam Silaturahmi tanggal 2 Maret yang lalu di Jakarta. Film kedua, “Tjinta Fatma”, sebuah film dokudrama yang berupaya merekonstruksi kehidupan Fatmawati muda di Bengkulu, masa percintaannya dengan Bung Karno, pernikahannya dan ditutup dengan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan.
Benda Kenangan merupakan pameran barang-barang pribadi Fatmawati dan Bung Karno. Dari sudut yang berbeda artefak-artefak tersebut ingin memperlihatkan kepada khalayak ramai tentang karakter Fatmawati dan Bung Karno sebagai manusia Indonesia yang mendapat karunia Tuhan mengambil peran penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kecintaan Fatmawati pada kekayaan khasanah budaya Nusantara dapat disaksikan melalui sebagian dari koleksi pakaiannya yang sangat kental ciri keindonesiaannya.
Pameran Penunjang bersifat melengkapi ketiga materi pergelaran di atas. Buku-buku tentang Bung Karno, batik Guruh Sukarno Putra dan cenderamata dari Yayasan Bung Karno dapat dimiliki oleh masyarakat luas, sebagai kenang-kenangan
Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno juga diselenggarakan dalam konteks merayakan Hari Kartini, 21 April 2008. Cita-cita Kartini telah dilanjutkan oleh Fatmawati. Semangat emansipasi dan jiwa sosial Kartini telah menjadi batu penjuru sepak terjang Fatmawati memperjuangkan hak-hak perempuan untuk ikut membangun negeri tercinta Indonesia. Tidak berlebihan pula jika pergelaran ini juga dapat dibaca dalam konteks perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Semangat kebangsaan kita saat ini sedang mengalami cobaan dan gangguan. Pada tanggal 20 Mei 1948 untuk kali pertama dirayakan peringatan Kebangkitan Nasional atas inisiatif Bung Karno (dahulu disebut Kebangunan Nasional, dan kegiatan perayaan diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara). Fatmawati juga menjadi saksi peristiwa bersejarah itu di Istana Kepresidenan di Yogyakarta. Melalui perjalanan hidupnya, Fatmawati ikut membangun nilai-nilai kebangsaan bagi kemajuan Indonesia.
Penutup
Fatmawati telah dimuliakan sebagai Pahlawan Nasional. Ia mendapat predikat Ibu Agung di tahun 60-an. Namanya melekat di Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan. Bandara di kota kelahirannya menyandang namanya, Bandara Fatmawati Sukarno. Pergelaran ini tidak ingin meninggikan Fatmawati pada puncak kemegahan yang diselimuti awan emas gemerlapan. Fatmawati lebih berbahagia berada di bawah dan berkumpul dengan pelbagai lapisan masyarakat yang dicintainya, berjuang bersama-sama membangun Republik Indonesia, sebagai bangsa dan sebagai manusia biasa.
Merdeka!

Yogyakarta adalah kota perjuangan. Ketika pada awal tahun 1946 keamanan di Jakarta semakin tidak menentu, bahkan mengancam keselamatan para pemimpin Republik Indonesia, maka ibukota pindah ke bumi Mataram. Selama periode 1946-1949 Yogyakarta menjadi saksi hidup gelombang pasang-surut perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengakomodasi Pemerintahan Pusat RI agar dapat bertahan hidup selama revolusi kemerdekaan merupakan catatan sejarah tersendiri. Yogyakarta telah menjadi pusat pikiran, perasaan, dan tindak perjuangan bangsa Indonesia. Dalam periode inilah Fatmawati yang baru berusia 23 tahun menghadapi tantangan terbesar dalam hidupnya, baik sebagai Ibu Negara, sebagai ibu rumah tangga kepresidenan, sebagai ibu bagi anak-anaknya, maupun sebagai tokoh perempuan bagi negeri yang baru saja merdeka. Ia tidak pernah merasa memiliki persiapan yang memadai untuk tampil sebagai pelaku sejarah. Namun masa-masa itu dijalaninya dengan tabah dan tawakal. Peran historisnya sebagai pembuat Bendera Pusaka Merah Putih tidak membuatnya terlena, namun justru menguatkan tekadnya untuk terus berjuang membangun bangsanya.

Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno akan mengetengahkan sosok Fatmawati dari berbagai masa, peristiwa dan tempat yang sangat beragam. Pergelaran Foto berupaya mengungkapkan potret Fatmawati dalam kesehariannya, rileks dan santai, namun juga berwibawa dalam kerutinannya sebagai Ibu Negara yang memiliki tanggung jawab kenegaraan. Rangkaian foto yang dimulai dari masa Bengkulu hingga periode Sriwijaya akan menjadi bagian utama dari pergelaran. Pesona Fatmawati akan diungkapkan melalui foto-foto terpilih yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi oleh Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumber foto digali dari koleksi yayasan, koleksi keluarga, dari berbagai media cetak tempo dulu, dan sumber-sumber lainnya. Foto-foto akan disusun secara kronologis dengan porsi terbesar difokuskan pada Periode Yogyakarta.