Friday, May 30, 2008

TIPS MEMILIH KAMERA DIGITAL

Berikut beberapa tips sebelum berburu kamera digital:

1. Resolusi
Gambar digital dibuat oleh titik-titik yang disebut piksel. Resolusi ini merujuk pada banyaknya piksel yang bekerja sama membuat suatu foto. Biasanya ditunjukkan oleh horisontal x vertikal. Resolusi 1280 x 960 memiliki total 1,2 Megapiksel. Semakin besar resolusi akan memproduksi foto yang juga lebih baik.

Sesuaikan resolusi yang ditawarkan dengan pilihan Anda. Biasanya dalam satu kamera tersedia pilihan resolusi yang berbeda. Jika hanya ingin mengirim foto melalui e-mail, resolusi 640 x 480 sudah memadai. Tapi jika ingin mencetak sebaiknya pilih resolusi yang lebih besar, agar gambar tidak pecah dan buram.

2. Pastikan Fitur Pendukung Lainnya
Sebelum membeli, pastikan kamera digital pilihan Anda memiliki beberapa fitur pendukung seperti kemampuan memori tambahan. Ini untuk memperbesar gudang penyimpanan foto Anda.

Jika sesekali menginginkan gambar bergerak, pilih kamera yang mendukung video. Beberapa kamera digital datang dengan kemampuan audio saja. Sesuaikan dengan kebutuhan anda. Video atau audio?

Selain itu perhatikan kemampuan zoom yang ditawarkan. Optical zoom menjadi pusat perhatian ketimbang digital zoom, si perangkat lunak yang menyediakan fasilitas cropping dan memperbesar gambar.

3. Lampu Kilat (Flash)
Rata-rata produk kamera digital dilengkapi dengan lampu kilat yang terintegrasi. Ada yang otomatis, atau perlu menekan tombol on untuk menjalankannya. Flash berguna sebagai pendukung cahaya. Gambar yang diambil dalam kondisi agak gelap dapat tetap tampil maksimal dengan bantuan lampu menyilaukan ini. Perhatikan juga apakah si ramping memiliki fitur tambahan seperti pengurang efek mata merah. Beberapa produk juga datang dengan pilihan foto untuk pengambilan gambar di malam hari atau night scene.

4. Layar LCD
Layar LCD di bagian belakang kamera digital memudahkan Anda melihat obyek. Disini anda juga bisa melihat dan menghapus gambar yang tidak diinginkan. Pilih layar LCD dengan kandungan resolusi yang cukup besar sehingga warna yang tampil lebih natural. Ukuran layar juga berbeda-beda. Pastikan layar tidak terlalu kecil, sehingga gambar bisa tampil maksimal.

5. Self-Timer
Self timer biasanya bisa mencapai 10 detik. Selain memudahkan memotret gambar diri, fitur ini juga berguna untuk mengambil gambar dalam keadaan cahaya yang kurang karena bisa mengurangi guncangan akibat tekanan pada tombol pengambilan gambar.

6. Daya Tahan Baterai
Kalau tak ingin kesenangan terputus gara-gara baterei loyo, Anda perlu memperhatikan berapa lama sumber listrik ini bisa bertahan. Memilih baterai yang bisa diisi ulang (rechargeable) adalah tindakan bijaksana dan lebih hemat.

7. Koneksi
Perhatikan apakah kamera digital Anda bisa berhubungan intim dengan perangkat digital lainnya seperti televisi, printer, PC atau Mac. Anda akan tertolong dengan adanya USB kabel.
Anda juga bisa mencetak gambar dengan bantuan kabel USB. Beberapa kamera digital sudah mendukung PictBridge yang membuat Anda leluasa mencetak gambar langsung dari kamera digital meski mereknya berbeda.
Adapun keenam vendor yang mempelopori standar terbuka itu adalah Canon, Hewleet-Packard, Seiko Epson Corporation, Olympus Optical Company, Fuji Photo Film Corporation, dan Sony Corporation.

8. Kalkulasi Harga
Jangan lupa untuk mengkalkulasi harga perangkat pendukung lainnya seperti baterei isi ulang dan adapter AC.

9. Waktu Operasi
Pilih kamera digital yang tidak butuh waktu terlalu banyak setelah jeda pengambilan gambar. Selisih waktu 4 hingga 6 detik saja mungkin membuat Anda kurang puas dengan kinerja si ramping.

10. Bandingkan Harga dan Garansi
Jangan hanya terpikat pada satu toko saja. Kalau ada waktu luang tidak ada salahnya Anda melakukan riset kecil-kecilan sebelum membeli.
Margin keuntungan yang berbeda menjadi sumber mengapa harga yang Anda temui di toko yang satu tidak sama dengan yang lain. Perhatikan juga garansi.

Akhirnya jangan hanya terpikat pada bentuk tubuh yang menggoda, tapi perhatikan isi atau fitur yang ada di dalam suatu produk.
Selamat menikmati langsing bodinya tapi padat fiturnya.

Khansa AL Asma

Pendidikan Desain Komunikasi Visual (DKV)
Category:Other
Pendidikan Desain Komunikasi Visual (DKV) berbasis
Konsep desain komunikasi visual itu penting !

1. Berperan serta mempersiapkan sumber daya manusia khususnya para programmers, networkers dan 'visual
communication designers di abad teknologi informasi dan citra, secara efisien dan dapat meningkatkan
produktivitas usaha/ lembaga/ pemerintah dan industri

2. Menerapkan teknologi informasi dan sistem informasi manajemen sebagai hal penting disegala bidang agar meningkatkan kualitas masyarakat informasi dalam era pasar terbuka (globalisasi).

3. Mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan sis. informasi manajemen,
serta dapat memenuhi tantangan program-program pemerintah Indonesia dan industri pada saat ini maupun di masa depan.

Pendidikan desain komunikasi visual itu perlu !

1. Mengenal Konsep Desain Komunikasi Visual sebagai Dasar Perancangan/ Desain dan Strategi Komunikasi

2. Mengenal Desain Grafis (DKV) dan Bahasa Rupa sebagai Pengolah Visual Data Informasi

3. Mengenal secara teknis prinsip, proses teknologi informatika dan sistem informasi manajemen.

4. Memahami Elemen desain Grafis sebagai alat penyampai pesan yang efektif, efisien, komunikatif dan estetis kreatif dalam konteks konsep-policy/
planning/ strategy dan implementasi serta evaluasi.

5. Memahami strategi komunikasi, psikologi dan sosial/ anthropologi budaya

6. Memahami beberapa media baru, terutama dunia media/ ruang cyber serta tekniknya yaitu :
a. Animasi - Audio Visual (Mix Media)
b. Interaktif media dan Web/
homepage yang biasa
dipergunakan untuk melengkapi
E-Media dan Mixmedia/Multimedia.

7. Menguasai konsep perancangan/ desain komunikasi visual dan pemasaran global secara universal

8. Menguasai proses dan teknik perancangan/ desain yang dapat mengantisipasi perkembangan dunia
kewirausahaan/ entrepreneurship.
(indarsjah tirtawidjaja)
Prev: Definisi, prinsip dan istilah Desain Komunikasi Visual
Next: Stop Beri Uang (Anjal)

Animal Kingdom

  • Tanggal: 19 Feb 2008 - 10 Mar 2008
  • Kurator: Mikke Susanto

Pameran Seni Visual
ANIMAL KINGDOM: The Last Chronic
JOGJA GALLERY, 16 Februari - 9 Maret 2008

Kira-kira antara tahun 3500 – 232 SM., tepatnya di zaman Kerajaan Mesir Kuno, keberadaan binatang dalam aktivitas kebudayaan mereka sangat penting. Binatang tidak saja dianggap teman hidup manusia, tetapi lebih dari sekadar itu. Binatang dijadikan rekan kerja, sekaligus--ini yang lebih penting--adalah untuk direpresentasikan sebagai wujud keagungan raja dan dewa-dewa yang mereka sembah. Mereka percaya pada polyteisme (banyak dewa). Di lain pihak raja dianggap sebagai keturunan dewa. Dengan demikian raja sebagai keturunan dewa mempunyai kekuasaan absolut dan memerlukan atribut-atribut untuk melegitimasi kekuasaan: pusaka, kesaktian, bangunan-bangunan monumental, kuburan-kuburan megah dan sebagainya.
Lewat artefak yang terkait dengan legitimasi kekuasaan tersebut, terungkaplah berbagai penghormatan mereka pada binatang. Dewa-dewa yang dihormatinya diwujudkan dengan bangun arsitektur yang megah, salah satu yang paling mencolok misalnya Spinx: Singa berkepala manusia. Jika ingin disebut lebih banyak lagi misalnya Dewa Matahari (Ra atau Re) yang divisualkan sebagai kumbang atau burung elang, dewa Anubis dengan muka serigala, Dewa Sobek yang berkepala buaya, Dewa Horus yang berkepala Rajawali dan sebagainya.
***
Secara singkat dalam tradisi seni rupa Cina, binantang seperti kuda, angsa, ikan, udang sering menjadi objek lukisan. Mereka dihadirkan sebagai bagian dari gambaran penghormatan atau puisi alam. Sesekali juga hadir sebagai bagian dalam urusan keberuntungan hidup. Sedang dalam sejarah seni di Eropa, keberadaan dan ’hidup’ binatang jauh lebih variatif. Peran mereka mulai sebagai aktor pendukung atau tampil sebagai objek utama. Mereka sering ditampilkan berotot, gagah, tampil maskulin dan sebagainya. Mereka sering berperan sebagai binatang itu sendiri maupun sebagai metafora dewa atau ”seseorang” yang lain. Lihat lukisan-lukisan yang menggambarkan mitologi Yunani, atau karya Leonardo da Vinci yang menggambarkan angsa sebagai perwujudan Dewa Zeus dalam karya Leda and The Swan.
Setelahnya, deretan cerita binatang dalam sejarah seni Eropa semakin panjang. Aliran Art Nouveau juga melahirkan tradisi animal style (sebutan ini juga sering dipakai dalam seni Jerman yang terjadi di akhir Abad Kegelapan atau Dark Ages). Di era Art Nouveau sekitar 1890-an mereka membuat stilisasi dan pola hias binatang dan tumbuhan (hal semacam ini juga terjadi di belahan lain seperti yang terjadi di Jawa).
Di dalam seni rupa modern Indonesia, Raden Saleh sering memunculkan peran binatang dengan sangat kuat. Tidak saja sebagai pendukung, namun juga menjadi identitas dalam menggambarkan nasionalismenya. Baru di tangan Affandi, Widayat, Popo Iskandar, dan beberapa lainnya, tercipta gagasan yang sifatnya lebih individual. Dalam tradisi seni rupa Bali, tercipta pola visual yang bersumber dari cerita tantri. Di sini muncul sederet nama seniman tradisi Bali yang sangat kuat menggambarkan binatang sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Maka ketika zaman seni rupa kontemporer (seni saat ini) berkembang, terungkaplah gejala baru. Binatang dialihfungsikan sebagai manusia, yang jauh melebihi dari sekadar cerita sebagai metafora dewa, tetapi juga menjadi manusia, dari yang baik hingga yang jalang. Di era 80-an hingga saat ini, di Indonesia misalnya berkembang visualisasi binatang tikus (sebagai simbolisasi koruptor), bebek (rakyat yang manut), lalat (pemuncul aroma busuk), babi dan celeng (penilap harta rakyat), yang sangat mendominasi karya seni pra & pasca reformasi.
Di samping kecenderungan di atas, terjadi pula eksplorasi binatang sebagai bagian dari proses identifikasi individu. Dalam perkembangan ini, ekplorasi gaya realis, abstraksi, dan formal tetap muncul. Keberadaan binatang di tangan para perupa di sini berkisar antara fungsi formal yang menunjuk sebagai bagian dari ekplorasi teknik dan berada pada tataran hobi pada binatang. Nama-nama seperti Dewa Putu Mokoh dengan ular dan kataknya, Ugo Untoro yang kerap merespon kuda peliharaannya, Wayan Sadu yang senang dengan babi dan anjingnya, Wayan Sujana Suklu dengan capung, Setyo Priyo Nugroho dengan harimaunya dan sebagainya sering mewarnai seni rupa Indonesia.
***
Cerita-cerita di atas hanyalah sebagian dari perkembangan sejarah binatang dalam peradaban manusia. Intinya, perkembangan pemikiran seni yang bertitik tolak dengan tema binatang berkisar pada persoalan ”penghormatan”, ”cacian”, dan ”penggalian atau eksplorasi individu”. Realitas lain yang tak bisa dihindari adalah bahwa binatang kini secara alami tergusur oleh kebijakan dan ulah manusia sehingga ia mengalami keterdesakan ruang, tetapi dalam lukisan atau karya seni, nyatanya binatang justru sebagai bagian yang mempengaruhi hidup manusia dan memperluas ruang wacana seni kita.
Maka jika saya sering berpikir bahwa terdapat cerita dan sejarah binatang yang lebih luas perspektifnya, berikut hanyalah ujung kecil dari berbagai selubung cerita besar yang ada di setiap sejarah seni rupa dimanapun. Dari sini kemudian kami mencoba mengungkap ilustrasi berupa pameran yang mungkin akan membuka wacana lebih lanjut. Adakah temuan dan hasil karya seniman kontemporer Indonesia saat ini yang lebih kuat mengemuka setelah pameran ini digelar? Jika tidak, kisah dan kronik terakhir berupa binatang sebagai media ”cacian” dan ”eksplorasi individu” inilah yang akan dipakai secara khusus sebagai bentuk tuturan dalam kurasi pameran ini. +++

Mikke Susanto
Kurator

Seniman yang turut dalam pameran Animal Kingdom:


1. AB. Dwiantoro
2. Agapetus Kristiandana
3. Agus Suwage
4. Alexander Ming
5. Asri Nugroho
6. Bunga Jeruk P.
7. Chusin Setiadikara
8. Doel AB.
9. Dadi Setiyadi
10. Didik Nurhadi
11. Djoko Pekik
12. Erika Hesti Wahyuni
13. F. Widayanto
14. Farhan Siki
15. Husain
16. I Dewa Putu Mokoh
17. I Ketut Susena
18. I Wayan Asta
19. I Wayan Cahya
20. I Wayan Sadu
21. I Wayan Sugantika
22. I Wayan Sujana Suklu
23. I Wayan Sumantra
24. I Ketut Santosa
25. Ivan Sagito
26. Iwan Effendi
27. Probo
28. Ronald Manulang
29. S. Teddy D.
30. Sasya Tranggono
31. Setyo Priyo Nugroho
32. Sidik Martowidjojo
33. Suraji
34. Suitbertus Sarwoko
35. Syahrizal Koto
36. Timbul Raharjo
37. Ugo Untoro
38. Wahyu Santosa
39. Yoga Budhi Wantoro

Agenda Jogja Gallery


GOLDEN BOX

  • Tanggal: -
  • Kurator: Mikke Susanto

GoldenBox

Tidak diragukan bagaimana lingkungan, pendidikan, hubungan sosial dan daya kreatifitas di kota Yogyakarta ini melahirkan banyak karya-karya berkualitas yang lahir dari tangan-tangan emas para perupa kita. Tingginya kompetisi, kebutuhan untuk mempresentasikan gagasan dan untuk tetap eksis di tengah hiruk pikuknya perkembangan dunia seni rupa kita, mendorong Jogja Gallery untuk menggiatkan sebuah program konsinyasi/titip jual karya seni visual. Program yang bertajuk GoldenBox. Meski, sejak Jogja Gallery berdiri, program konsinyasi ini sudah kami tawarkan, namun Jogja Gallery ingin mengedepankan potensi program ini lebih serius. Sehingga gagasan program GoldenBox ini merupakan sebuah diversifikasi promosi karya-karya berkualitas dari banyak perupa potensial di Indonesia.

Karya-karya yang tersaji dalam program GoldenBox ini tetap melalui tahap seleksi dari kurator dan manajemen Jogja Gallery, dan akan berotasi setiap 4 bulan sekali. Sekitar 80 hingga 100 karya dalam GoldenBox ini merupakan karya yang pernah dipamerkan mau pun yang belum, bahkan besar kemungkinan akan dipamerkan di Jogja Gallery. Maka, para peminat karya seni visual akan dimanjakan dengan banyak pilihan dari berbagai aliran seni, berbagai teknik dan media, dari para perupa dengan kategori, promising, emerging hingga establish artists.

Dari GoldenBox periode pertama ini, sekaligus kami ingin mengundang para perupa untuk terus berkarya dengan mengedepankan kualitas dan ide-ide kreatifnya yang brilian. Untuk saling mengoptimalkan kerja sama antara galeri dengan perupa melalui program ini. Demikian pula, kami mengundang para peminat karya seni visual untuk terus mendukung infrastruktur dan perkembangan seni visual Indonesia lewat apresiasinya.


Salam,
Nunuk Ambarwati
Program Manager

Pameran seni drawing 'Sketch of Jogja'

Dipublikasikan tanggal November 20, 2007 2:13 PM

sketch-of-jogja.jpg

Karya Mulyo Gunarso
16 November - 16 Desember 2007
Museum Lounge, Yogyakarta Grand Mercure Hotel
Jalan Jendral Sudirman No 9, Yogyakarta 55233
Penyelenggara: Jogja Gallery, Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara
Yogyakarta

Bertempat di Museum Lounge, Yogyakarta Grand Mercure Hotel; Jogja Gallery [JG] mempresentasikan karya-karya sketsa goresan perupa muda Mulyo Gunarso [lahir di Kediri, 1979]. Mulyo menempuh studinya di Fakultas Seni Rupa [FSR], Institut Seni Indonesia [ISI], Yogyakarta dalam kurun waktu 2001 - 2006. Mulyo Gunarso dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Kesederhanaan personality-nya tersebut toh pada akhirnya tergambar pula di 20 karya sketsa yang bisa dinikmati bersama arsitektur khas Yogyakarta Grand Mercure Hotel kali ini. Pada kesempatan presentasi kali ini, Mulyo banyak menampilkan dominasi warna sephia monokrom. Dengan teknik cat air di atas kertas, Mulyo mampu menggambarkan suasana familiar sudut-sudut kota di Yogyakarta, seperti Alun-alun Selatan, Tamansari, suasana pasar, sudut-sudut arsitektur Yogyakarta Grand Mercure sendiri hingga Candi Prambanan dan Borobudur tak ketinggalan turut ditorehkannya. Tak mengherankan memang, dalam deretan prestasinya, Mulyo Gunarso mendapat penghargaan di tahun 2002 sebagai sketsa terbaik dan seni lukis cat air terbaik dari perguruan tinggi yang diampunya. Selamat menikmati presentasi kali ini.

Tentang Jogja Gallery

Jogja Gallery [JG], sebagai 'Gerbang Budaya Bangsa' berdiri di Yogyakarta, 19 September 2006. Diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY], Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bertempat di 0 (nol) kilometer atau Alun-alun Utara, berada di kawasan heritage, pusat kota Yogyakarta, menempati bekas gedung bioskop Soboharsono (berdiri 1929) yang telah berfungsi sejak jaman penjajahan Belanda. Jogja Gallery sebagai galeri seni visual yang didirikan oleh PT Jogja Tamtama Budaya, bekerja sama dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (selaku pemilik tanah dan bangunan) membawa peran penting yaitu sebagai media pertemuan antara pekerja seni dengan masyarakat luas. Program pelayanan publik yang telah dirancang antara lain pameran berkala, kerja sama non pameran, friends of Jogja Gallery, perpustakaan, art award forum, lelang karya seni, art shop, kafe dan restoran.

Informasi selanjutnya:
Jogja Gallery [JG]
Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara, Yogyakarta 55000 Indonesia
Telepon +62 274 419999, 412021
Telepon/Fax +62 274 412023
Telepon/SMS +62 274 7161188, +62 888 696 7227
Email: jogjagallery@yahoo.co.id / info@jogja-gallery.com
www.jogja-gallery.com

69 - Seksi Nian


69 - Seksi Nian

  • Tanggal: 08 Apr 2008 - 12 Apr 2008
  • Kurator: Mikke Susanto

Pameran yang ke-25 sejak Jogja Gallery berdiri 19 September 2006 di Yogyakarta, pameran seni visual 69 Seksi Nian, tanggal 8 - 12 April 2008. Even istimewa kali ini sekaligus merupakan peringatan dan perayaan ulang tahun ke 69 dr. Oei Hong Djien. Sebuah angka unik, seunik sosok dr. Oei. Sosok yang tak diragukan lagi kiprahnya dalam dunia seni rupa kita. Demikian juga bagi Jogja Gallery, beliau merupakan figur yang hingga kini menemani perjalanan kami dengan segudang nasehat dan masukan demi berkembangnya Jogja Gallery.

Even ini menandai penyelenggaraan pameran yang ke-25 sejak Jogja Gallery berdiri 19 September 2006 di Yogyakarta. Pameran yang diselenggarakan secara reguler oleh Jogja Gallery kali ini bersifat pameran kelompok dan akan mengetengahkan karya-karya perupa Indonesia, kami mengundang 69 perupa dimana pihak kurator mau pun galeri tidak memberikan batasan mengenai ide karya, tema apapun dan akan lebih menarik jika karya tersebut dapat memberi rangsangan untuk tetap terus menggulirkan ide-ide yang segar dalam kajian seni rupa atau dan memiliki kaitan dengan konteks profil dr. Oei Hong Djien. Undangan ini juga bersifat semata-mata berpartisipasi merayakan ulang tahun ke-69 dr. Oei Hong Djien, dimana angka 69 memiliki arti tersendiri dalam perjalanan hidup dan karier dr. Oei di tengah perkembangan seni visual Indonesia hingga saat ini. Ke-69 karya dari 69 perupa yang diundang ini akan didisplay bersamaan dalam satu panel.

Seniman yang berpartisipasi:

Agapetus A. Kristiandana, Agung Kurniawan, Agus Triyanto BR., Agus Yulianto, Altje Ully, Aming Prayitno, Arie Dyanto, Alexander Ming, Azhar Horo, AT. Sitompul, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Bambang Herras, Bayu Yuliansyah, Bob ‘Sick’ Yudhita Agung, Bunga Jeruk, Cahyo Basuki Yopi, David Armi Putra, Deddy PAW, Denny ‘Snod’ Susanto, Didik Nurhadi, Dipo Andi, Dyan Anggraini Hutomo, Eddie Hara, Eddy Sulistyo, Edi Sunaryo, Edo Pop, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Fauzie As’ad, Gede Krishna Widiathama, Gusmen Heriadi, Hadi Soesanto, Hayatuddin, Herly Gaya, I Gusti Ngurah Udiantara, I

Pergelaran Foto, Film Dokumenatasi & Benda Kenangan Fatmawati Soekarno


Pergeraran Foto, Film Dokumentasi & Benda Kenangan Fatmawati Soekarno

  • Tanggal: 14 Apr 2008 - 21 Apr 2008
  • Kurator: Bambang Eryudhawan & Mikke Susanto

Pesona Fatmawati Sukarno


Kota Perjuangan
Yogyakarta adalah kota perjuangan. Ketika pada awal tahun 1946 keamanan di Jakarta semakin tidak menentu, bahkan mengancam keselamatan para pemimpin Republik Indonesia, maka ibukota pindah ke bumi Mataram. Selama periode 1946-1949 Yogyakarta menjadi saksi hidup gelombang pasang-surut perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengakomodasi Pemerintahan Pusat RI agar dapat bertahan hidup selama revolusi kemerdekaan merupakan catatan sejarah tersendiri. Yogyakarta telah menjadi pusat pikiran, perasaan, dan tindak perjuangan bangsa Indonesia.
Dalam periode inilah Fatmawati yang baru berusia 23 tahun menghadapi tantangan terbesar dalam hidupnya, baik sebagai Ibu Negara, sebagai ibu rumah tangga kepresidenan, sebagai ibu bagi anak-anaknya, maupun sebagai tokoh perempuan bagi negeri yang baru saja merdeka. Ia tidak pernah merasa memiliki persiapan yang memadai untuk tampil sebagai pelaku sejarah. Namun masa-masa itu dijalaninya dengan tabah dan tawakal. Peran historisnya sebagai pembuat Bendera Pusaka Merah Putih tidak membuatnya terlena, namun justru menguatkan tekadnya untuk terus berjuang membangun bangsanya.
Karena itu Yogyakarta di tahun 2008 menjadi tempat istimewa dalam rangkaian kegiatan Mengenang 85 Tahun Fatmawati Sukarno. Kegiatan pertama telah dilangsungkan di Jakarta pada bulan Februari dan Maret yang lalu. Kemudian kegiatan dilaksanakan di Bengkulu, tempat ia dilahirkan pada tanggal 5 Februari 1923. Pada bulan Maret yang lalu di Yogyakarta telah dilaksanakan pula kegiatan sosial.
Yogyakarta menjadi lebih istimewa karena untuk kali pertama Presiden RI beserta keluarga menempati sebuah istana, yaitu di Gedung Agung. Di sinilah seorang Fatmawati harus melalui batu ujian, memainkan lakon sejarahnya, menapaki jalan yang belum pernah dilalui oleh siapapun juga, yaitu sebagai Ibu Negara Pertama Republik Indonesia. Tanpa buku pedoman, tanpa kursus, atau pelatihan, Fatmawati dengan berani, tegar, sekaligus anggun dan bersahaja mampu memainkan perannya dengan sebaik-baiknya. Kesederhanaan menjadi modal utamanya. Di tengah-tengah tugas kenegaraannya, ia tidak melupakan keluarganya, setia mendampingi suami dan mencurahkan kecintaan yang luar biasa pada putera-puterinya. Ia dikenal sangat terbuka, ramah, luwes, periang, dan pandai bergaul dengan siapa saja, tidak pandang warna aliran politiknya atau kelas dalam masyarakat. Ia sahabat semua orang. Latar belakangnya sebagai puteri dari keluarga Muhammadyah yang berpikiran maju dan berjiwa nasionalis telah membentuk karakter Fatmawati yang sholeh, teguh dalam pendirian, gemar membantu orang yang kesusahan, dan terus bersemangat untuk mempelajari banyak hal, termasuk agama, seni dan budaya.
Pergelaran
Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno akan mengetengahkan sosok Fatmawati dari berbagai masa, peristiwa dan tempat yang sangat beragam. Pergelaran Foto berupaya mengungkapkan potret Fatmawati dalam kesehariannya, rileks dan santai, namun juga berwibawa dalam kerutinannya sebagai Ibu Negara yang memiliki tanggung jawab kenegaraan. Rangkaian foto yang dimulai dari masa Bengkulu hingga periode Sriwijaya akan menjadi bagian utama dari pergelaran. Pesona Fatmawati akan diungkapkan melalui foto-foto terpilih yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi oleh Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumber foto digali dari koleksi yayasan, koleksi keluarga, dari berbagai media cetak tempo dulu, dan sumber-sumber lainnya. Foto-foto akan disusun secara kronologis dengan porsi terbesar difokuskan pada Periode Yogyakarta.
Pada bagian awal, Periode Bengkulu menampilkan masa muda Fatmawati yang pernah diramal saat usia 4 tahun akan “...mendapat jodoh orang yang mempunyai kedudukan tertinggi di negeri ini.” Lalu masuk ke Periode Pendudukan Jepang. Setelah menikah dengan Bung Karno, Fatmawati harus meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah ke Jakarta. Fatmawati menjadi saksi hidup pergumulan Bung Karno yang mengambil strategi bekerja sama dengan Jepang namun terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam periode ini Pancasila dipidatokan oleh penggalinya, Bung Karno, pada tanggal 1 Juni 1945. Di tahun 1944 Fatmawati mulai menjahit Bendera Pusaka Merah Putih. Akhir dari periode ini adalah peristiwa akbar bagi bangsa Indonesia, yaitu Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Fatmawati tampil di 4 (empat) foto yang berhasil direkam oleh Frans Mendur selama detik-detik proklamasi berlangsung.
Periode Yogyakarta sangat kaya dengan peristiwa. Di tengah-tengah gejolak revolusi kemerdekaan, dengan ketekunan dan kesabarannya Fatmawati berhasil membangun tradisi rumah tangga istana kepresidenan mulai dari nol. Di sisi lain, kekuatan dan ketangguhan Bung Karno menghadapi berbagai masalah kenegaraan (misalnya Peristiwa 3 Juli, Clash I dan II, Pemberontakan PKI Madiun) tidak lepas dari peran Fatmawati sebagai pendamping yang mampu menghadirkan suasana hangat, ceria dan bahagia di tengah keluarga.
Periode Istana Merdeka adalah masa ketika pusat pemerintahan telah kembali ke Jakarta. Di tahun 1950 untuk kali pertama Fatmawati mendapat kesempatan mendampingi Bung Karno dalam perjalanan kenegaraan keluar negeri. Kunjungan ke India, Pakistan dan Burma merupakan pengalaman pertama yang sangat mengesankan bagi Ibu Negara.
Pada Periode Sriwijaya, roda kehidupan terus berjalan dalam format yang agak berbeda. Jauh dari ikatan protokoler istana, dari rumahnya di jalan Sriwijaya ia mengisi waktunya dengan kegiatan sosial tanpa melupakan perannya sebagai ibu dari lima putera-puterinya yang telah beranjak dewasa. Pada tanggal 14 Mei 1980 Fatmawati meninggal dunia di Kuala Lumpur, jauh dari tanah air tercinta, usai menunaikan ibadah Umrah.
Film Dokumenter akan menampilkan 2 buah film utama. Film pertama, “Bu Fat Dalam Kenangan” yang telah ditayangkan untuk kali pertama di Malam Silaturahmi tanggal 2 Maret yang lalu di Jakarta. Film kedua, “Tjinta Fatma”, sebuah film dokudrama yang berupaya merekonstruksi kehidupan Fatmawati muda di Bengkulu, masa percintaannya dengan Bung Karno, pernikahannya dan ditutup dengan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan.
Benda Kenangan merupakan pameran barang-barang pribadi Fatmawati dan Bung Karno. Dari sudut yang berbeda artefak-artefak tersebut ingin memperlihatkan kepada khalayak ramai tentang karakter Fatmawati dan Bung Karno sebagai manusia Indonesia yang mendapat karunia Tuhan mengambil peran penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kecintaan Fatmawati pada kekayaan khasanah budaya Nusantara dapat disaksikan melalui sebagian dari koleksi pakaiannya yang sangat kental ciri keindonesiaannya.
Pameran Penunjang bersifat melengkapi ketiga materi pergelaran di atas. Buku-buku tentang Bung Karno, batik Guruh Sukarno Putra dan cenderamata dari Yayasan Bung Karno dapat dimiliki oleh masyarakat luas, sebagai kenang-kenangan
Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno juga diselenggarakan dalam konteks merayakan Hari Kartini, 21 April 2008. Cita-cita Kartini telah dilanjutkan oleh Fatmawati. Semangat emansipasi dan jiwa sosial Kartini telah menjadi batu penjuru sepak terjang Fatmawati memperjuangkan hak-hak perempuan untuk ikut membangun negeri tercinta Indonesia. Tidak berlebihan pula jika pergelaran ini juga dapat dibaca dalam konteks perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Semangat kebangsaan kita saat ini sedang mengalami cobaan dan gangguan. Pada tanggal 20 Mei 1948 untuk kali pertama dirayakan peringatan Kebangkitan Nasional atas inisiatif Bung Karno (dahulu disebut Kebangunan Nasional, dan kegiatan perayaan diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara). Fatmawati juga menjadi saksi peristiwa bersejarah itu di Istana Kepresidenan di Yogyakarta. Melalui perjalanan hidupnya, Fatmawati ikut membangun nilai-nilai kebangsaan bagi kemajuan Indonesia.
Penutup
Fatmawati telah dimuliakan sebagai Pahlawan Nasional. Ia mendapat predikat Ibu Agung di tahun 60-an. Namanya melekat di Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan. Bandara di kota kelahirannya menyandang namanya, Bandara Fatmawati Sukarno. Pergelaran ini tidak ingin meninggikan Fatmawati pada puncak kemegahan yang diselimuti awan emas gemerlapan. Fatmawati lebih berbahagia berada di bawah dan berkumpul dengan pelbagai lapisan masyarakat yang dicintainya, berjuang bersama-sama membangun Republik Indonesia, sebagai bangsa dan sebagai manusia biasa.
Merdeka!

Yogyakarta adalah kota perjuangan. Ketika pada awal tahun 1946 keamanan di Jakarta semakin tidak menentu, bahkan mengancam keselamatan para pemimpin Republik Indonesia, maka ibukota pindah ke bumi Mataram. Selama periode 1946-1949 Yogyakarta menjadi saksi hidup gelombang pasang-surut perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengakomodasi Pemerintahan Pusat RI agar dapat bertahan hidup selama revolusi kemerdekaan merupakan catatan sejarah tersendiri. Yogyakarta telah menjadi pusat pikiran, perasaan, dan tindak perjuangan bangsa Indonesia. Dalam periode inilah Fatmawati yang baru berusia 23 tahun menghadapi tantangan terbesar dalam hidupnya, baik sebagai Ibu Negara, sebagai ibu rumah tangga kepresidenan, sebagai ibu bagi anak-anaknya, maupun sebagai tokoh perempuan bagi negeri yang baru saja merdeka. Ia tidak pernah merasa memiliki persiapan yang memadai untuk tampil sebagai pelaku sejarah. Namun masa-masa itu dijalaninya dengan tabah dan tawakal. Peran historisnya sebagai pembuat Bendera Pusaka Merah Putih tidak membuatnya terlena, namun justru menguatkan tekadnya untuk terus berjuang membangun bangsanya.

Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno akan mengetengahkan sosok Fatmawati dari berbagai masa, peristiwa dan tempat yang sangat beragam. Pergelaran Foto berupaya mengungkapkan potret Fatmawati dalam kesehariannya, rileks dan santai, namun juga berwibawa dalam kerutinannya sebagai Ibu Negara yang memiliki tanggung jawab kenegaraan. Rangkaian foto yang dimulai dari masa Bengkulu hingga periode Sriwijaya akan menjadi bagian utama dari pergelaran. Pesona Fatmawati akan diungkapkan melalui foto-foto terpilih yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi oleh Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumber foto digali dari koleksi yayasan, koleksi keluarga, dari berbagai media cetak tempo dulu, dan sumber-sumber lainnya. Foto-foto akan disusun secara kronologis dengan porsi terbesar difokuskan pada Periode Yogyakarta.

Thursday, May 29, 2008

VISUAL ART COMPETITIONPosted by admin under Acara
Mar24
Sasaran : Mahasiswa ITS
Ajang kreasi dan inovasi dari setiap peserta dalam mengapresiasikan pesan atau ide-ide, ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspek-aspek kehidupan sosial dalam bentuk gambar dan atau tulisan, sedemikian rupa sehingga isi dari pesan tersebut mudah dimengerti dan menarik untuk dilihat. Karya yang dimunculkan merupakan refleksi kritis dan dinamis terhadap setiap permasalahan dari tinjauan ilmu yang digelutinya. Ajang kreasi Poster ini dibagi menjadi 5 kategori, yaitu :
Poster Ilmiah Non PKM
Karikatur
Fotografi
Kaligrafi
Video grafi
Ketentuan :
Peserta diharuskan mengirimkan karya hasil kreasi pribadinya sesuai dengan tema yang telah ditentukan panitia dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya, seminggu sebelum PIMITS 11 dilaksanakan kecuali kaligrafi.
Untuk kaligrafi, peserta lomba membuat karya bersamaan pada saat pelaksanaan PIMITS 11 di tempat dan waktu yang telah disediakan oleh panitia.
Tahap penilaian dan penjurian dilaksanakan oleh dewan juri.
Penjurian dibagi menjadi dua tahap,
Penilaian secara gambar, dimaksudkan untuk menilai kemampuan penyajian melalui media gambar dan dinilai dengan kriteria tertentu yaitu intelegensi, ide dan kreativitas, informatife, estetika, dan teknis.
Penilaian dari presentasi adalah penilaian dari hasil presentasi, dimana para peserta lomba poster yang telah melalui tahap seleksi awal mempresentasikan ide maupun konsep gambar disertai dengan sketsa. Mekanisme penilaian dari presentasi tersebut bertujuan untuk lebih menguji keaslian hasil karya peserta.
Pada kegiatan ini diharapkan ada pihak ketiga (badan usaha, perusahaan, industri, dll) yang bersedia untuk bekerjasama dalam memanfaatkan hasil karya dari para peserta.
Karya yang menjadi Juara dapat diambil (menjadi hak) Pihak Ketiga yang bersedia untuk bekerjasama sebagai bahan promosi dari produk dari pihak yang bersangkutan.
Visual art Competition juga menjadi ajang pemanasan sebelum ITS melaju ke PIMNAS XXI .
Pelaksanaan : Senin – Jumat, 24 – 28 Maret 2008

CP : Heri Elektro 081378100807

PERSYARATAN VISUAL ART COMPETITION :

a. Poster Ilmiah Non PKMTema : Wajah Pendidikan di Indonesia
Ukuran dan Jumlah Poster :1) Ukuran poster 50 cm x 70 cm2) Desain dibuat menarik dan
berwarna, dapat menampilkan foto dan lain-lain.3) Bahan poster dari kertas glossy/buffalo4)
Jumlah poster yang diikutkan lomba maksimal 3 (tiga) poster ilmiah non PKM dari setiap
peserta.

b. FotografiTema : Pendidikan dalam Kehidupan Manusia
Persyaratan Lomba :a. Lomba terbuka untuk mahasiswa ITS, setiap peserta dapat
menyerahkan foto berwarna maksimal 3 (tiga) lembar, dengan ukuran 10R (20 cm x 25 cm)
atau 10R Salon (25 cm x 30 cm) tanpa bingkai dan tidak boleh digulung.
b. Media yang dipakai
(Camera) boleh analog atau digital.
c. Periode foto tahun 2008d. Setiap peserta diwajibkan
menuliskan judul foto, nama, alamat lengkap dan nomor Telp./HP pada selembar kertas dan
ditempelkan di bagian belakang setiap foto juga dilampiri foto copy Kartu Tanda Mahasiswa
(KTM) ( formulir terlampir)
e. Foto dikirim dalam sampul tertutup dengan mencantumkan
Lomba Foto “Pendidikan dalam Kehidupan Manusia” pada sudut kiri atas sampul.f. Foto
dikirimkan kepada Sekretariat Lomba Foto “Pendidikan dalam Kehidupan Manusia” PIMITS
11 Tahun 2008, dengan alamat :Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa ITSKampus ITS
Gedung L-102g. Foto yang dilombakan tidak diperkenankan mengandung unsur provokatif,
pornografi dan SARA. Penyelenggara berhak untuk mendiskualifikasi foto yang dilombakan
apabila dianggap mengandung unsur-unsur dimaksud.h. Olah digital dapat diperkenankan,
sepanjang pengaturan Level, Contrast dan tidak diperkenankan untuk memanipulasi obyek
foto atau melakukan proses penggabungan/montase beberapa foto.i. Semua foto yang masuk
ke penyelenggara menjadi hak milik penyelenggara dan tidak akan dikembalikan kepada
peserta.j. Penyelenggara tidak bertanggungjawab terhadap adanya tuntutan pihak lain atas penggunaan fasilitas, lokasi, model dan obyek lainnya dalam foto yang dilombakan.k. Hadiah sudah termasuk kompensasi atas penggunaan foto-foto pemenang apabila foto-foto tersebut digunakan oleh dan untuk kepentingan penyelenggara.l. Pemenang harus dapat menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) asli dan source foto dalam media foto digital (Flashdisk/CD) sesuai hasil pemotretan asli, untuk foto analog menunjukkan negative film.m. Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugatn. Sertakan foto berwarna peserta masing-masing 2 Lembar ukuran 3×4
c. KarikaturTema : Wajah Pendidikan IndonesiaKetentuan lomba :1) Lomba terbuka untuk mahasiswa ITS.2) Setiap peserta mengirimkan maksimal 1 (satu) karya karikatur mahasiswa.3) Setiap karya KARIKATUR harus mengacu pada Tema yang ditetapkan panitia “Wajah Pendidikan Indonesia”.4) KARIKATUR dari peserta merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dimuat di media, Harus dilengkapi dengan pernyataan tertulis. Panitia tidak bertanggungjawab atas adanya tuntutan pihak lain atas KARIKATUR yang dikirimkan.5) Karya KARIKATUR tidak boleh mengandung muatan SARA, panitia lomba berhak mendiskualifikasi karya KARIKATUR yang dikirim apabila dipandang mengandung unsur SARA.6) Teknik : dibuat dengan goresan tangan asli (manual) bukan hasil desain dengan komputer7) Disain : Bebas (Dibuat menarik, hitam putih atau berwarna). Bahan Dasar : Kertas Karton Manila9) Warna Bahan : Putih10) Ukuran : A3 (29,7 cm x 42 cm)11) Setiap karya KARIKATUR yang dikirimkan harus dilengkapi dengan identitas peserta12) Aspek penilaian lomba karikatur meliputi: originalitas ide, kesesuaian dengan tema, ketajaman pesan yang disampaikan, kreativitas13) Karya KARIKATUR dikirim atau diserahkan langsung ke panitia dengan sampul tertutup dan di kirim ke:Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa ITSKampus ITS Gedung L-10214) Semua karya KARIKATUR yang diikutkan lomba harus sudah diterima panitia lomba paling lambat tanggal 23 Maret 200815) Semua karya KARIKATUR yang masuk menjadi hak milik panitia dan tidak akan dikembalikan pada peserta.16) Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
d. KaligrafiKetentuan lomba :Pendaftaran:
1. Pendaftaran peserta lomba sudah dibuka dan ditutup pada tanggal 23 Maret 20082. Pendaftaran dilakukan dengan mengirimkan formulir pendaftaran ke :
Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa ITSKampus ITS Gedung L-102
Peraturan Lomba:
1. Setiap peserta diminta membuat satu karya (katagori) kaligrafi dekoratif diatas media kertas Karton putih ukuran 60 cm x 100 cm.
2. Ayat Al-Qur’an yang dikaligrafikan ditentukan oleh panitia.
3. Peserta bebas memilih jenis kaligrafi (kaidah khat yang baku, seperti: naskhi, tsulusi, diwani, diwani jali, riq’ah, farisy dan khufi).
4. Panitia hanya menyediakan Kertas.
5. Peserta menyiapkan/ menyediakan sendiri segala peralatan dan cat yang diperlukan dalam lomba ini.6. Penilaian dilakukan oleh 3 dewan juri dalam aspek-aspek berikut :a. Kebenaran Tulisan.b. Kebenaran Kaedah Khat.c. Keserasian Tulisan.d. Pewarnaan (pilihan dan permainan tata warna)7. Keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.8. Seluruh karya lomba kaligrafi ini (pemenang atau tidak) menjadi hak milik Panitia penyelenggara PIMITS 11 2008 (Institut Teknologi sepuluh Nopember Surabaya).
CP : Fauzan 03160568389

KRITERIA

Kriteria Penilaian Foto Jurnalistik

bunting ( Post Date: 07 Apr 08 )
Balas [Menuju ke Website] Kriteria Penilaian Foto Jurnalistik Foto jurnalistik yang baik tidak hanya sekedar folus secara teknis, namun juga fokus secara cerita. Fokus dengan teknis adalah gambar mengandung tajam dan kekaburan yang beralasan. Ini dalam artian memenuhi syarat secara teknis fotografi. Fokus secara cerita, kesan, pesan dan misi yang akan disampaikan kepada pembaca mudah dimengerti dan dipahami. Kelompok kerja PWI bidang Foto Jurnalistik penah membuat suatu rumusan di untuk menilai sebuah foto jurnalistik yang dilihat dari kuat lemahnya sosok penampilan foto berita ialah : 1. Kehangatan/Aktual Sesuai dengan prasyarat umumnya sebuah berita, subyeknya bukan merupakan hal basi, sehingga betapapun suksesnya pengambilan sebuah foto bila tidak secepatnya dipublikasikan, sebuah foto belumlah memiliki nilai berita. Photograph by Sugiharto, Surya Daily Musibah Pacuan Kuda Petugas official pacuan kuda di pertarungan kelas E 1.200 meter Piala Wakil Gubernur Jatim, tertabrak kuda di arena pacuan yang berlangsung di Pantai Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (27/1). Korban selamat meski sempat pingsan karena kerasnya sepakan kaki kuda yang menghantam tubuhnya. Surya/Habibur Rohman 2. Faktual Subyek foto tidak dibuat-buat atau dalam pengertian diatur sedemikian rupa. Rekaman peristiwa terjadi spontan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, karena ini berkaitan dengan suatu kejujuran. 3. Informatif Foto mampu tampil dan dalam lebatan yang dapat ditangkap apa yang ingin diceritakan di situ, tanpa harus dibebani oleh sekeranjang kata. Pengertian informatif bagi tiap foto perlu ukuran khas. Sedikit berbeda dengan sebuah penulisan yang menuntut unsur 5W + 1H dalam suatu paket yang kompak, maka dalam sebuah foto jurnalistik minimal unsur who (siapa), why (mengapa) jika itu menyangkut tokoh dalam sebuah peristiwa. Dan keterangan selanjutnya untuk melengkapi unsur 5W + 1H (sebagai pelengkap informasi) ditulis pada keterangan foto (caption). 4. Misi Sasaran esensial yang ingin dicapai oleh penyajian foto berita dalam penerbitan, mengandung misi kemanusian – merangsang publik untuk menghargai apa yang patut dihargai atau sebaliknya menggugah kesadaran mereka untuk memperbaiki apa yang dianggap brengsek. 5. Gema Gema adalah sejauh mana topik berita berita menjadi pengetahuan umum, dan punya pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari dalam skala tertentu. Apakah satu peristiwa atau kejadian cuma bersifat lokal, nasional. regional atau internasional. 6. Aktraktif Menyangkut sosok grafis foto itu sendiri yang mampu tampil secara mengigit atau mencekam, baik karena komposisi garis atau warna yang begitu terampil maupun ekspresif dari subyek utamanya yang amat dramatis. source : http://www.filmpendek.org/Tips/Tips-Kriteria-Penilaian-Foto-Jurnalistik.html

Graduate Journal of Asia-Pacific Studies
Nov 17, '07 6:28 PMfor everyone

Category:
Books
Genre:
History
Author:
Jennifer Hsu, Burhanuddin, et all
EDITORIAL Volume 5, Number 2, August 2007Resisting, Rewriting and Reclaiming the Asia-Pacific, Part IIWELCOME TO the special issue of the Graduate Journal of Asia-Pacific Studies, ‘Resisting, Rewriting and Reclaiming the Asia-Pacific, Part II’. Due to the overwhelming number of excellent articles submitted to the previous paper call, we decided to publish a supplemental edition to provide further contributions under the same theme of resistance, reclaiming and rewriting in the Asia-Pacific. Although it is not standard practice for GJAPS to publish more than two editions per calendar year, Volume 5, Number 2 is a full issue, including four articles, two visual essays, one review essay and one book reviews.The articles, reviews and visual essays in this issue continue to interrogate this theme from a range of topics and positions. In geographic scope, the subject matter ranges from Northern China and Japan to Southeast Asia and across the Pacific from Australia to Vanuatu. Volume 5, Number 2 begins with a visual essay, ‘Re-Imagining Vanuatu’ by artist Josh Raymond. Raymond’s photographs explore an untouristic view of the island and its people. In the art editorial, Juliet Trevethick interviews Raymond to delve deeper into his theory and practice.In the first article, Jennifer Hsu examines the relationship between migrant civil society organisations (CSOs) and the government in Beijing. Through an interview process, Hsu illuminates why CSOs have begun to provide essential services to thousands of migrants, while government restrictions and regulations hinder their effective development. Over to Japan, Makito Yurita looks at witness testimonies as differentiated from memories of the Hiroshima bombing, particularly how they are politicized and scrutinised in the public sphere. Yurita examines how survivor accounts are written and rewritten in order to suit changing socio-political discourse.The next article shifts attention to Southeast Asia, where Burhanuddin investigates anti-Semitism in the print media of Indonesia. Focusing on the magazine, Media Dakwa, which is dedicated to popularizing a global Jewish conspiracy, Burhan seeks to expose their methods and motivation for influencing their Muslim readership. In the final article, Yiju Huang brings the focus back to Japan in an analysis of A Fool’s Love by Tanizaki Jun'ichirō’. Huang specifically delves into the East’s vision of the West and the transformed image of the Modern Girl Image.In the second visual essay of this issue, artist Maz Dixon deals with the politics of ornamentation in a postcolonial interpretation of the spectacle of Australia in the decorative arts. Playing with the idea of the observer versus the observed, Dixon uses wallpaper collage as a comment on the European fantasy of nature and the Pacific. This edition of GJAPS contains two reviews. The first is an essay resulting from fieldwork I undertook earlier this year that takes a close look at the redevelopment of the recently reopened National Museum of Singapore. In the sole book review of this issue, Caroline Cooper assesses Sylvie Blum-Reid’s East-West Encounters: Franco-Asian Cinema and Literature.As this is my last issue as Editor, I would like to thank everyone on the editorial committee, past and present, as well as the authors, artists, referees and subscribers who have contributed to this wonderful experience. It is my ambition that GJAPS continues to grow and hope that my work has contributed to that process. I wish the best of luck to Beatrice Kim and the team for continued success.Ashley REMER University of AucklandFor a complete version of my article contributed to this journal, please, find an attachment at my blog entry on "The Conspiracy of Jews: The Quest for Anti-Semitism in Media Dakwah" or just simply follow this link: http://www.arts.auckland.ac.nz/sites/index.cfm?P=11338

Memulai Layer Baru

MAESTRE .ristan.id. on PHOTOGRAPH'S.

Welcommen."
( ini bukan artikel tapi ini adalah intro about me.")

Hmm... Aahahaa....Yayayayayaa.."

Makasih banyak sebelumnya atas kunjungan anda untuk memberikan perhatian ke blog simply ini. Sebelumnya saya cukup bisa dibilang "BaRu" muncul di blog untuk mempublikasikan diri dan sedikit memberikan artikel-artikel yang cukup bermanfaat lebih khususnya di bidang Visual Art.

Dalam rangka mencintai dan menghargai Tanah Air Indonesia raya sudah wajib alias kudu' untuk membangkitkan energi Inspirasi hanya untuk Sang Ibu Pertiwi."





Salah satu visual sample sederhana adalah "gambaran saya'' yang coba saya curahkan sebagai pemacu energi inspirasi saya berikut :........" -buruk bukan..???.. hehee...!!


Maksud visual :

1. Membuat character artist.
2. Memperkenalkan identitas artist.
3. Membuat Taste tersendiri.

itulah maksud visual saya."
adapun kesalahan dengan maksud saya bagi penilaian anda terima kasih untuk anda memperhatikannya, tapi sungguh berharga apabila anda memberikan saran dan masukan bagi visual tersebut."


Terima Kasih."