Friday, May 30, 2008

Pergelaran Foto, Film Dokumenatasi & Benda Kenangan Fatmawati Soekarno


Pergeraran Foto, Film Dokumentasi & Benda Kenangan Fatmawati Soekarno

  • Tanggal: 14 Apr 2008 - 21 Apr 2008
  • Kurator: Bambang Eryudhawan & Mikke Susanto

Pesona Fatmawati Sukarno


Kota Perjuangan
Yogyakarta adalah kota perjuangan. Ketika pada awal tahun 1946 keamanan di Jakarta semakin tidak menentu, bahkan mengancam keselamatan para pemimpin Republik Indonesia, maka ibukota pindah ke bumi Mataram. Selama periode 1946-1949 Yogyakarta menjadi saksi hidup gelombang pasang-surut perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengakomodasi Pemerintahan Pusat RI agar dapat bertahan hidup selama revolusi kemerdekaan merupakan catatan sejarah tersendiri. Yogyakarta telah menjadi pusat pikiran, perasaan, dan tindak perjuangan bangsa Indonesia.
Dalam periode inilah Fatmawati yang baru berusia 23 tahun menghadapi tantangan terbesar dalam hidupnya, baik sebagai Ibu Negara, sebagai ibu rumah tangga kepresidenan, sebagai ibu bagi anak-anaknya, maupun sebagai tokoh perempuan bagi negeri yang baru saja merdeka. Ia tidak pernah merasa memiliki persiapan yang memadai untuk tampil sebagai pelaku sejarah. Namun masa-masa itu dijalaninya dengan tabah dan tawakal. Peran historisnya sebagai pembuat Bendera Pusaka Merah Putih tidak membuatnya terlena, namun justru menguatkan tekadnya untuk terus berjuang membangun bangsanya.
Karena itu Yogyakarta di tahun 2008 menjadi tempat istimewa dalam rangkaian kegiatan Mengenang 85 Tahun Fatmawati Sukarno. Kegiatan pertama telah dilangsungkan di Jakarta pada bulan Februari dan Maret yang lalu. Kemudian kegiatan dilaksanakan di Bengkulu, tempat ia dilahirkan pada tanggal 5 Februari 1923. Pada bulan Maret yang lalu di Yogyakarta telah dilaksanakan pula kegiatan sosial.
Yogyakarta menjadi lebih istimewa karena untuk kali pertama Presiden RI beserta keluarga menempati sebuah istana, yaitu di Gedung Agung. Di sinilah seorang Fatmawati harus melalui batu ujian, memainkan lakon sejarahnya, menapaki jalan yang belum pernah dilalui oleh siapapun juga, yaitu sebagai Ibu Negara Pertama Republik Indonesia. Tanpa buku pedoman, tanpa kursus, atau pelatihan, Fatmawati dengan berani, tegar, sekaligus anggun dan bersahaja mampu memainkan perannya dengan sebaik-baiknya. Kesederhanaan menjadi modal utamanya. Di tengah-tengah tugas kenegaraannya, ia tidak melupakan keluarganya, setia mendampingi suami dan mencurahkan kecintaan yang luar biasa pada putera-puterinya. Ia dikenal sangat terbuka, ramah, luwes, periang, dan pandai bergaul dengan siapa saja, tidak pandang warna aliran politiknya atau kelas dalam masyarakat. Ia sahabat semua orang. Latar belakangnya sebagai puteri dari keluarga Muhammadyah yang berpikiran maju dan berjiwa nasionalis telah membentuk karakter Fatmawati yang sholeh, teguh dalam pendirian, gemar membantu orang yang kesusahan, dan terus bersemangat untuk mempelajari banyak hal, termasuk agama, seni dan budaya.
Pergelaran
Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno akan mengetengahkan sosok Fatmawati dari berbagai masa, peristiwa dan tempat yang sangat beragam. Pergelaran Foto berupaya mengungkapkan potret Fatmawati dalam kesehariannya, rileks dan santai, namun juga berwibawa dalam kerutinannya sebagai Ibu Negara yang memiliki tanggung jawab kenegaraan. Rangkaian foto yang dimulai dari masa Bengkulu hingga periode Sriwijaya akan menjadi bagian utama dari pergelaran. Pesona Fatmawati akan diungkapkan melalui foto-foto terpilih yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi oleh Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumber foto digali dari koleksi yayasan, koleksi keluarga, dari berbagai media cetak tempo dulu, dan sumber-sumber lainnya. Foto-foto akan disusun secara kronologis dengan porsi terbesar difokuskan pada Periode Yogyakarta.
Pada bagian awal, Periode Bengkulu menampilkan masa muda Fatmawati yang pernah diramal saat usia 4 tahun akan “...mendapat jodoh orang yang mempunyai kedudukan tertinggi di negeri ini.” Lalu masuk ke Periode Pendudukan Jepang. Setelah menikah dengan Bung Karno, Fatmawati harus meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah ke Jakarta. Fatmawati menjadi saksi hidup pergumulan Bung Karno yang mengambil strategi bekerja sama dengan Jepang namun terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam periode ini Pancasila dipidatokan oleh penggalinya, Bung Karno, pada tanggal 1 Juni 1945. Di tahun 1944 Fatmawati mulai menjahit Bendera Pusaka Merah Putih. Akhir dari periode ini adalah peristiwa akbar bagi bangsa Indonesia, yaitu Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Fatmawati tampil di 4 (empat) foto yang berhasil direkam oleh Frans Mendur selama detik-detik proklamasi berlangsung.
Periode Yogyakarta sangat kaya dengan peristiwa. Di tengah-tengah gejolak revolusi kemerdekaan, dengan ketekunan dan kesabarannya Fatmawati berhasil membangun tradisi rumah tangga istana kepresidenan mulai dari nol. Di sisi lain, kekuatan dan ketangguhan Bung Karno menghadapi berbagai masalah kenegaraan (misalnya Peristiwa 3 Juli, Clash I dan II, Pemberontakan PKI Madiun) tidak lepas dari peran Fatmawati sebagai pendamping yang mampu menghadirkan suasana hangat, ceria dan bahagia di tengah keluarga.
Periode Istana Merdeka adalah masa ketika pusat pemerintahan telah kembali ke Jakarta. Di tahun 1950 untuk kali pertama Fatmawati mendapat kesempatan mendampingi Bung Karno dalam perjalanan kenegaraan keluar negeri. Kunjungan ke India, Pakistan dan Burma merupakan pengalaman pertama yang sangat mengesankan bagi Ibu Negara.
Pada Periode Sriwijaya, roda kehidupan terus berjalan dalam format yang agak berbeda. Jauh dari ikatan protokoler istana, dari rumahnya di jalan Sriwijaya ia mengisi waktunya dengan kegiatan sosial tanpa melupakan perannya sebagai ibu dari lima putera-puterinya yang telah beranjak dewasa. Pada tanggal 14 Mei 1980 Fatmawati meninggal dunia di Kuala Lumpur, jauh dari tanah air tercinta, usai menunaikan ibadah Umrah.
Film Dokumenter akan menampilkan 2 buah film utama. Film pertama, “Bu Fat Dalam Kenangan” yang telah ditayangkan untuk kali pertama di Malam Silaturahmi tanggal 2 Maret yang lalu di Jakarta. Film kedua, “Tjinta Fatma”, sebuah film dokudrama yang berupaya merekonstruksi kehidupan Fatmawati muda di Bengkulu, masa percintaannya dengan Bung Karno, pernikahannya dan ditutup dengan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan.
Benda Kenangan merupakan pameran barang-barang pribadi Fatmawati dan Bung Karno. Dari sudut yang berbeda artefak-artefak tersebut ingin memperlihatkan kepada khalayak ramai tentang karakter Fatmawati dan Bung Karno sebagai manusia Indonesia yang mendapat karunia Tuhan mengambil peran penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kecintaan Fatmawati pada kekayaan khasanah budaya Nusantara dapat disaksikan melalui sebagian dari koleksi pakaiannya yang sangat kental ciri keindonesiaannya.
Pameran Penunjang bersifat melengkapi ketiga materi pergelaran di atas. Buku-buku tentang Bung Karno, batik Guruh Sukarno Putra dan cenderamata dari Yayasan Bung Karno dapat dimiliki oleh masyarakat luas, sebagai kenang-kenangan
Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno juga diselenggarakan dalam konteks merayakan Hari Kartini, 21 April 2008. Cita-cita Kartini telah dilanjutkan oleh Fatmawati. Semangat emansipasi dan jiwa sosial Kartini telah menjadi batu penjuru sepak terjang Fatmawati memperjuangkan hak-hak perempuan untuk ikut membangun negeri tercinta Indonesia. Tidak berlebihan pula jika pergelaran ini juga dapat dibaca dalam konteks perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Semangat kebangsaan kita saat ini sedang mengalami cobaan dan gangguan. Pada tanggal 20 Mei 1948 untuk kali pertama dirayakan peringatan Kebangkitan Nasional atas inisiatif Bung Karno (dahulu disebut Kebangunan Nasional, dan kegiatan perayaan diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara). Fatmawati juga menjadi saksi peristiwa bersejarah itu di Istana Kepresidenan di Yogyakarta. Melalui perjalanan hidupnya, Fatmawati ikut membangun nilai-nilai kebangsaan bagi kemajuan Indonesia.
Penutup
Fatmawati telah dimuliakan sebagai Pahlawan Nasional. Ia mendapat predikat Ibu Agung di tahun 60-an. Namanya melekat di Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan. Bandara di kota kelahirannya menyandang namanya, Bandara Fatmawati Sukarno. Pergelaran ini tidak ingin meninggikan Fatmawati pada puncak kemegahan yang diselimuti awan emas gemerlapan. Fatmawati lebih berbahagia berada di bawah dan berkumpul dengan pelbagai lapisan masyarakat yang dicintainya, berjuang bersama-sama membangun Republik Indonesia, sebagai bangsa dan sebagai manusia biasa.
Merdeka!

Yogyakarta adalah kota perjuangan. Ketika pada awal tahun 1946 keamanan di Jakarta semakin tidak menentu, bahkan mengancam keselamatan para pemimpin Republik Indonesia, maka ibukota pindah ke bumi Mataram. Selama periode 1946-1949 Yogyakarta menjadi saksi hidup gelombang pasang-surut perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengakomodasi Pemerintahan Pusat RI agar dapat bertahan hidup selama revolusi kemerdekaan merupakan catatan sejarah tersendiri. Yogyakarta telah menjadi pusat pikiran, perasaan, dan tindak perjuangan bangsa Indonesia. Dalam periode inilah Fatmawati yang baru berusia 23 tahun menghadapi tantangan terbesar dalam hidupnya, baik sebagai Ibu Negara, sebagai ibu rumah tangga kepresidenan, sebagai ibu bagi anak-anaknya, maupun sebagai tokoh perempuan bagi negeri yang baru saja merdeka. Ia tidak pernah merasa memiliki persiapan yang memadai untuk tampil sebagai pelaku sejarah. Namun masa-masa itu dijalaninya dengan tabah dan tawakal. Peran historisnya sebagai pembuat Bendera Pusaka Merah Putih tidak membuatnya terlena, namun justru menguatkan tekadnya untuk terus berjuang membangun bangsanya.

Pergelaran Foto, Film Dokumenter dan Benda Kenangan Fatmawati Sukarno akan mengetengahkan sosok Fatmawati dari berbagai masa, peristiwa dan tempat yang sangat beragam. Pergelaran Foto berupaya mengungkapkan potret Fatmawati dalam kesehariannya, rileks dan santai, namun juga berwibawa dalam kerutinannya sebagai Ibu Negara yang memiliki tanggung jawab kenegaraan. Rangkaian foto yang dimulai dari masa Bengkulu hingga periode Sriwijaya akan menjadi bagian utama dari pergelaran. Pesona Fatmawati akan diungkapkan melalui foto-foto terpilih yang berhasil dikumpulkan dan diseleksi oleh Yayasan Bung Karno dan Yayasan Fatmawati. Sumber foto digali dari koleksi yayasan, koleksi keluarga, dari berbagai media cetak tempo dulu, dan sumber-sumber lainnya. Foto-foto akan disusun secara kronologis dengan porsi terbesar difokuskan pada Periode Yogyakarta.

No comments: